Sunday, May 1, 2011

Tafsir adabil Ijtima'i

PENDAHULUAN

Abad ke-19 dunia Islam mengalami masa suram, terus-menerus merosot, terbelakang dan banyak Negara muslimin yang sedang menghadapi pendudukan asing. Pada masa itulah muncul seorang pemimpin Jamaluddin al-Afghani, mengumandangkan seruan untuk membangkitkan muslimin. Muridnya yang pertam yang mengikuti jejaknya ialah Syaikh Muhammad Abduh. Dia yang mengajar pembaharuan dalam berbagai prinsip dan pengertian Islam. Ia menghubungkan ajaran-ajaran agama dengan kehidupan modern, dan memebuktikan bahwa Islam sama sekali tidak bertentangan dengan peradaban, kehidupan modern serta apa yang bernama kemajuan.[1]Maka dari itulah lahirlah kitab-kitab tafsir yang tidak memberikan perhatian khusus kepada segi-segi dan sisi-sisi kajian seperti nahwu, istilah-istilah dalam balaghah,bahasa, dll. Perhatian pokok dari kitab-kitab tafsir ini adalah memfungsikan al-Qur’an sebagai kitab hidayah dengan cara yang sesuai dengan ayat-ayat al-Qur’an dan makna-maknanya yang bernilai tinggi, yaitu member peringatan dan kabar gembira., oleh karena tafsir yang bermanfaat bagi ummat Islam adalah tafsir yang menjelaskan al-Qur’an dari segi bahwa ia adalah kitab yang berisi ajaran-ajaran agama yang menunjukkan kepada manusia cara untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.[2]
Corak ataupun model penafsiran tersebut di kenal dengan nama al-Laun al-Adaby al-Ijtima’I. Dan salah satu kitab tafsir yang bercorak seperti ini adalah tafsir al-Manar yang merupakan hasil karya dari dua tokoh yang mempunyai hubungan guru dan murid, yaitu Syaikh Muhammad Abduh dan Sayyid Muahammad Rasyid Ridha.

PENGERTIAN

Kata al-adaby dilihat dari bentuknya termasuk mashdar (infinitif) dari kata kerja (madhi) aduba, yang berarti sopan santun, tata krama dan sastra. Secara leksikal, kata tersebut bermakna norma-norma yang dijadikan pegangan bagi seseorang dalam bertingkah laku dalam kehidupannya dan dalam mengungkapkan karya seninya. Oleh karena itu, istilah al-adaby bisa diterjemahkan sastra budaya. Sedangkan kata al-ijtima’iy bermakna banyak bergaul dengan masyarakat atau bisa diterjemahkan kemasyarakatan. Jadi secara etimologis tafsir al-adaby al-Ijtima’i adalah tafsir yang berorientasi pada satra budaya dan kemasyarakatan, atau bisa di sebut dengan tafsir sosio-kultural.[3]
Corak tafsir al-Adaby al-Ijtima’I adalah corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit masyarakat atau masalah-maslah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah didengar. [4]

Jadi, corak penafsiran al-Adaby al-Ijtima’ adalah corak penafsiran yang berorientasi pada sastra budaya kemasyarakatan, suatu corak penafsiran yang menitik beratkan penjelasan ayat al-Qur’an pada segi-segi ketelitian redaksionalnya, kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama turunnya ayat kemudian merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.

TOKOH-TOKOHNYA:

·Setting sosio-historis Muhammad Abduh
Tokoh utama corak penafsiran ini (al-Adaby al-Ijtima’i) serta yang berjasa meletakkan dasar-dasarnya adalah Syaikh Muhammad Abduh, yang kemudian dikembangkan oleh murid sekaligus sahabatnya, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, dan dilanjutkan oleh ulama-ulama lain, terutama Muhammad Mustafa al-Maraghi.
Syaikh Muhammad Abduh adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Ia dilahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten al-Buhairah, Mesir pada tahun 1849 M. ia berasal dari keluarga yang tidak tergolong kaya, tidak pula keturunan bangsawan. Namun demikian ayahnya dikenal sebagai orang terhormat yang suka memberi pertolongan.[5]Mula-mula Muhammad Abduh dikirim oleh ayahnya ke Masjid al-Ahmadi Thantha untuk mempelajari tajwid al-Qur’an. Ia belajar disan sampai dua tahun. Setelah itu, ia memutuskan untuk kembali ke desanya dan bertani seperti saudara-saudara serta kaum kerabatnya. Waktu kembali ke desa inilah ia dikawinkan.Walaupun sudah kawin, ayahnya memaksanya untuk kembali belajar. Namun Muhammad Abduh sudah bertekad untuk tidak kembali. Maka ia lari ke desa Syibral Khit, di sana banyak paman dari pihak ayahnya bertempat tinggal. Di kota inilah ia bertemu dengan Syaikh Darwisy Khidr, salah seorang pamannya yang mempunyai pengetahuan tentang al-Qur’an. Sang paman berhasil mengubah pandangan pemuda Muhammad Abduh dari seorang yang membenci ilmu pengetahuan menjadi seorang yang menggemarinya.
Dari sini Muhammad Abduh kembali ke Masjid al-Ahmadi Thantha, dan kali ini minat dan pandangannya untuk belajar telah jauh berbeda disbanding pertama kali ia ke sana.Dari Thantha, Muhammad Abduh menuju ke Kairo untuk belajar di al-Azhar, yaitu pada bulan Februari, 1866. Namun system pengajaran ketika itu tidak berkenan di hatinya, karena menurut Abduh:
“Kepada mahasiswa hanya dilontarkan pendapat-pendapat para ulama terdahulu tanpa mengantarkan mereka kepada usaha penelitian, perbandingan dan pentarjihan.” Namun demikian, di perguruan tinggi ia sempat berkenalan dengan sekian banyak dosen yang dikaguminya, antara lain:

1. Syaikh Hasan al-Thawil yang mengajarkan kitab filsafat, padahal kitab tersebut tidak diajarkan pada waktu itu.
2. Muhammad al-Basyuni, seorang yang banyak mencurahkan perhatian dalam bidang sastra bahasa, bukan melaluiajaran tata bahasa melainkan melalui kehalusan rasa dan kemampuan mempraktikkannya.[6]
Pada tahun 1294 H ia telah memperoleh ijazah sarjana dari al-Azhar. Kemudian, Jamaluddin al-Afghani ketika itu dating ke Mesir. Muahmmad Abduh bertemu dengan dia dan mendengarkan kuliah-kuliahnya, baik di rumahnya, di kafenya, ketika ia sedang berkunjung atau dikunjungi. Kedua tokoh ini mersa ada kesamaan tujuan dan cocok, sehingga mereka akhirnya saling membantu dan sama-sama menaruh rasa suka.[7]Setelah dua tahun sejak pertemuannya dengan Jamaluddin al-Afghani, terjadilah perubahan yang sangat berarti pada keperibadian Abduh, dan mulailah ia menulis kitab-kitab karangannya seperti Risalah al-‘Aridat (1873), disusul kemudian dengan Hasyiah-Syarah al-Jalal al-Dawwani Li al-Aqa’id al-Adhudhiyah (1875). Dalam karangannya ini, Abduh yang ketika itu baru berumur 26 tahun telah menulis dengan mendalam tentang aliran-aliran filsafat, ilmu kalam (teologi) dan tasawuf, serta mengkritik pendapat-pendapat yang dianggapnya salah.[8]
Pada tahun 1888 Muahammad Abduh kembali ke tanah airnya yang sebelumnya ia berpindah-pidah tempat dengan berbagai alasan, dan oleh pemerintah Mesir ia diberi tugas sebagai hakim di Pengadilan Daerah Banha. Walaupun ketika itu Abduh sangat berminat untuk mengajar, namun agaknya pemerintah Mesir sengaja untuk merintangi, agar pemikiran-pemikirannya yang mungkin bertentangan dengan kebijakan pemerintah pada saat itu tidak dapat diteruskan pada putra-putri Mesir.Pada tahun 1905 Muhammad Abduh mencetuskan ide pembentukan universitas Mesir. Ide ini mendapat tanggapan antusias dari pemerintah maupun masyarakat, terbukti dengan disediakannya sebidang tanah untuk maksud tersebut. Namun sayang, universitas yang ia cita-citakan baru berdiri setelah ia berpulang ke Rahmatullah, dan universitas inilah yang kemudian menjadi “Universitas Kairo.”
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha telah merintis kebangkitan ilmiah dan memberikan buahnya kepada murid-muridnya. Kebangkitan ini berpusat pada kesadaran Islami, upaya pemahaman ajaran sosiologis Islam dan pemecahan agama terhadap problematika kehidupan masa kini. Benih-benih kebangkitan tersebut sebenarnya dimulai dengan gerakan Jamaluddin al-Afghani, yang kepadanya Abduh berguru. Abduh memebrikan mata kuliah tafsir di Universitas al-Azhar dan mendapat sambutan baik dari murid dan mahasiswanya. Dan Rasyid Ridha adalah murid paling tekun mempelajari mata kuliah tersebut, paling semangat dan mencatatnya dengan teliti, yang akhirnya dengan gurunya inilah ia buahkan kitab tafsir yang diberi nama al-Manar.[9]Pada 11 Juli 1905, Muhammad Abduh meninggal dunia di Kairo, Mesir. Yang menangisi kepergiannya bukan hanya umat Islam, tetapi ikut pula berduka sekian banyak tokoh non-Muslim.[10]



_Sayyid muhammad rasyid ridha
·Setting sosio-historis
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan di Qalmun, suatu kampung sekitar 4 km dari Tripoli, Lebanon, pada 27 Juamadil ‘Ula 1282 H. Dia adalah bangsawan Arab yang mempunyai garis keturunan langsung dari Sayyidina Husain, Putra Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Putri Rasulullah saw.Disamping orangtuanya sendiri, Rasyid Ridha belajar juga kepada sekian banyak guru. Di masa kecil ia belajar di taman-taman pendidikan di kampungnya yang ketika itu dinamai al-Kuttab, di sana diajarkan membaca al-Qur’an, menulis, dan dasar-dasar berhitung.Setelah tamat Rasyid Ridha dikirim oleh orangtuanya ke Tripoli, Lebanon untuk belajar di Madrasah Ibtidaiyah yang mengajarkan Nahwu, Sharaf, Aqidah, Fiqh, behitung, dan ilmu bumi. Bahasa pengantar yang digunakan di sekolah tersebut adalah bahasa Turki, mengingat Lebanon pada saat itu berada di bawah kekuasaan Ustmaniyah. Mereka belajar di sana dipersiapkan untuk menjadi pegawai-pegawai pemerintah.
Karena itu Rasyid Ridha tidak tertarik untuk belajar di sana. Setahun kemudian, yatu pada tahun 1299 H/1822 M, ia pindah ke Sekolah Islam Negri, yang merupakan sekolah terbaik pada saat itu dengan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar, disamping diajarkan pula bahasa Turki dan Prancis. Sekolah ini didirikan oleh ulama besar Syam ketika itu, yakni Syaikh Husain al-Jisr. Syaikh inilah yang kelak mempunyai andil sangat besar terhadap perkembangan pemikiran Rasyid Ridha, karena hubungan antara keduanya tidak terhenti walaupun kemudian sekolah itu ditutup oleh pemerintah Turki. Syaikh Husan al-Jisr juga yang memberi kesempatan kepada Rasyid Ridha untuk menulis di beberapa surat kabar Tripoli, kesempatan itu kelak mengantarnya memimpin majalah al-Manar.[11]
Pada saat Rasyid Ridha memulai perjuangan di kampung halamannya, baik melalui pengajian-pengajian untuk kaumpria dan wanita maupun tulisan-tulisannya di media masa,Muhammad Abduh memimpin pula gerakan pembaruan di Mesir.Majalah al-‘Urwah al-Wutsqa yang diterbitkan oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muahammad Abduh di Paris, yang tersebar ke seluruh dunia Islam, ikut dibaca pula oleh Rasyid Ridha dan member pengaruh sangat besar terhadap jiwanya, sehingga mengubah sikap pemuda yang berjiwa sufi ini menjadi pemuda yang penuh semangat.Kekagumannya kepada Muhammad Abduhbertambah mendalam sejak Abduh kembali ke Beirut untuk kedua kalinya pada 1885 dan mengajar sambil mengarang. Pertemuan antar keduanya terjadi ketika Syaikh Muhammad Abduh berkunjung ke Tripoli untuk menemui temannya, Syaikh Abdullah al-Barakah, yang mengajar di sekolah al-Khanutiyah. Berkat inilah mereka berdua bertemu untuk pertama kali.Pertemuan kedua terjadi pada tahun 1312 H/1894 M, juga di Tripoli. Kali ini Rasyid Ridha menemani Abduh sepanjang hari, sehingga banyak kesempatan bagi Rasyid Ridha untuk menanyakan sesuatu yang masih kabur baginya.
Setelah lima tahun dari pertemuan kedua, maka baru pada 23 Rajab 1315 H/18 Januari 1898 M terjadi pertemuan ketiga di Kairo, Mesir. Sebulan setelah pertemuan ketiga ini, Rasyid Ridha mengemukakan keinginannya untuk menerbitkan suatu surat kabar yang mengolah masalah-masalah social, budaya dan agama.Pada mulanya Abduh tidak menyetujui gagasan ini, karena pada saat itu di Mesir sudah cukup banyak media massa, apalagi persoalan yang akan diolah kurang menarik perhatian umum. Namun Rasyid Ridha menyatakan tekadnya, walaupun harus menanggung kerugian selama satu sampai dua tahun setelah penerbitan itu. Akhirnya Abduh merestui dan memeilih nama al-Manar dari sekian banyak nama yang diusulkan Rasyid Ridha.Akhirnya al-Manar melangsungkan launching pertamanya pada 22 Syawwal 1315 H/17 Maret 1898 M berupa Mingguan sebanyak delapan halaman dan mendapat sambutan hangat, bahkan bukan hanya di Mesir atau Negara-negara Arab sekitarnya saja, tetapi sampai ke Eropa bahkan ke Indonesia.[12]Setelah suksesnya penerbitan majalah al-Manar, kemudian Rasyid Ridha menghimpun dan menambah penjelasan seperlunya dalam sebuah kitab tafsir yang juga diberi nama al-Manar, kitab tafsir ini mengandung pembaruan dan sesuai denga perkembangan zaman. Ia berusaha menghubungkan ajaran-ajaran al-Qur’an dengan kehidupan masyarakat, disamping membuktikan bahwa Islam adalah agama yang memiliki sifat universal, umum, abadi dan cocok bagi segala keadaan, waktu dan tempat.[13]
Dalam perjalanan pulang dari kota suez di Mesir, setelah mengantar pangeran Sa’ud al-Faisal, mobil yang dikendarainya mengalami kecelakaan dan ia menderita gegar otak. Selama dalam perjalanan, Rasyid Ridha hanya membaca al-Qur’an, walau ia telah sekian kali muntah. Setelah memperbaiki posisinya, tanpa disadari oleh orang-orang yang menyertainya, tokoh ini wafat dengan wajah yang sangat cerah dan disertai senyuman, pada 23 Jumadil ‘Ula 1354 H, bertepatan dengan 22 Agustus 1935 M.[14]

CONTOH PENAFSIRAN:

Pemikiran Muhammad Abduh yang dimasukkan dalam penafsiran atas al-Qur’an, yang dipublikasikan berdasarkan atas kitab yang diturunkan (wahyukan).perbedaan dalam tujuan menafsirkan al-Qur’an itu tampak ketika beliau menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan persepektif sosiologi, yang dapat menjelaskan bahwa al-Qur’an al-Hakim itu merupakan sumber kebahagiaan baik dalam konteks urusan agama dan urusan duniawi dalam setiap masa. Ketika spirit inilah, Muhammad Abduh memiliki pandangan yang bertolak belakang dengan para ahli tafsir klasik, bahwa nilai al-Qur’an it uterus mengalami peningkatan disebabkan minimnya pengaruh konseptual dari aturan-atura balaghah tentang sinonimitas kata dalam al-Qur’an. Hal itu sebagaimana dalam firman Allah yang berbunyi:
“sesungguhnya Allah adalah Dzat yang maha penyayang serta pengasih kepada semua manusia”. Maka yang harus digaris bawahi dari bentuk penggunaan dua lafazh yang menunjukkan pada dua makna yang sangat berdekatan ini adalah menggambarkan tartib (susunan) makna yang ditunjukkan kedua lafazh tersebut, dengan menunjukkan lafzh yang datang setelahnya itu memiliki makna yang lebih tinggi daripada makna lafazh sebelumnya. Para ahli Balaghah kemudian menyebut kaidah ini dengan pola peningkatan dari makna yang lebih rendah ke makna yang lebih tinggi (al-taraqi min al-adna ila al-a’la). Serta pertayaan yang terkait dengan keyakinan: Apakah para nabi itu lebih mulia derajatnya daripada derajat para malaikat? Maka golongan Mu’tazilah dan sebagian dari golongan Asy’ari-al-Baqilani dan al-Hilimi menyatakan bahwa para malaikat itu lebih utama derajatnya, sedangkan mazhab Asy’ari pada umumnya menyatakan bahwa para nabi itulah yang memiliki derajat yang lebih utama daripada malaikat. Telah terjadi perdebatan sengit seputar manakah yang lebih utama , ketika menafsirkan ayat 172 surat an-Nisa’ yang berbunyi:
“Al-Masih sekali-kali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah, dan tidak (pula enggan) malaikat-malaikat yang terdekat kepada Allah, barang siapa yang enggan untuk menyembah-Nya dan menyombongkan diri, nanti Allah akan mengumpulkan mereka semua kepada-Nya”.pada ayat tersebut para malaikat disebut setela nabi Isa menurut tartib ayat.\
Jelaslah, bahwa (al-Baqarah; 142) tidak menganut kaidah tersebut. Lafazh “ra’uf” (yang maha pengasih) itu menunjukkan pada makna “kasih sayang yang sangat”, dan lafazh itu memiliki madlul (makna yang ditunjukkan) lebih kuat dari lafazh “rahim” yang jatuh setelahnya. Dalam tafsir al-Sya’bi karya al-Jalalain terdapat beberapa alasan (sebab) aat ini tidak mengikuti kaidah balaghah, karena lafazh itu memiliki kandungan makna yag lebih karena adanya pemisah.[15]

PENUTUP

Kesimpulan

·Corak tafsir al-Adaby al-Ijtima’I adalah corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan masyarakat dan berorientasi pada sastra budaya kemasyarakatan.
·Tokoh dalam corak penafsiran ini (al-Adaby al-Ijtima’i) adalah dan dilanjutkan oleh ulama-ulama lain, terutama Muhammad Mustafa al-Maraghi
·Abduh yang ketika itu baru berumur 26 tahun telah menulis dengan mendalam tentang aliran-aliran filsafat, ilmu kalam (teologi) dan tasawuf, serta mengkritik pendapat-pendapat yang dianggapnya salah.[16]
·Muhammad Abduh menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan persepektif sosiologi, yang dapat menjelaskan bahwa al-Qur’an al-Hakim itu merupakan sumber kebahagiaan baik dalam konteks urusan agama dan urusan duniawi dalam setiap masa.
·Syaikh Muhammad Rasyid Ridha telah merintis kebangkitan ilmiah dan memberikan buahnya kepada murid-muridnya. Kebangkitan ini berpusat pada kesadaran Islami, upaya pemahaman ajaran sosiologis Islam dan pemecahan agama terhadap problematika kehidupan masa kini
DAFTAR PUSTAKA


üal-Qattan.Manna’ Khalil, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, terj. Mudzakir, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an.2007.Jakarta: Litera Nusantara.,ctk. 10.
üal-Syirbashi,.Ahmad.2001.Sejarah Tafsir al-Qur’an.Jakarta: Firdaus.
üal-‘Aridl,.Ali Hasan.1992. Sejarah dan Metodologi Tafsir .Jakarta: CV. Rajawali Pers.
üAl Muhatsib,Abdul Majid Abdus Salam.1997.Visi dan Paradigma Tafsir al-Qur’an Kontemporer.Bangil: al-Izzah.
üKarman,Supiana-M.2002. Ulumul Qur’an.Bandung: pustaka islamika.
üSyihab.Quraish.1994. Studi Kritis Tafsir al-Manar .Bandung: pustaka hidayah.
üSyihab.Quraish.2007. Membumikan al-Qur’an.Bandung: PT. Mizan Pustaka.ctk. I.

Buku-buku:
[1] Ahmad al-Syirbashi, Sejarah Tafsir al-Qur’an (Jakarta: Firdaus, 2001), hlm. 161

[2] Ali Hasan al-“Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir (Jakarta: CV. Rajawali Pers, 1992), hlm. 69-70

[3] Supiana-M. Karman, Ulumul Qur’an (Bandung: PUSTAKA ISLAMIKA, 2002), hlm. 316-317

[4] Quraish Syihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007), ctk. I, hlm. 108

[5] Quraish Syihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar (Bandung: PUSTAKA HIDAYAH, 1994), hlm. 11

[6] Quraish Syihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar (Bandung, PUSTAKA HIDAYAH, 1994)hlm. 12-13

[7] Abdul Majid Abdus Salam Al Muhatsib, Visi dan Paradigma Tafsir al-Qur’an Kontemporer (Bangil: AL IZZAH, 1997), hlm.106

[8] Quraih Syihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar (Bandung, PUSTAKA HIDAYAH, 1994), hlm. 14

[9] Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, terj. Mudzakir, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an (Jakarta: Litera Nusantara, 2007),ctk. 10, hlm. 511-512

[10] Quraish Syihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar (Bandung, PUSTAKA HIDAYAH, 1994), hlm. 16-17

[11] Quraish Syihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar (Bandung: PUSTAKA HIDAYAH, 1994), hlm. 59-61

[12] Quraish Syihab, Studi … hlm. 59-64

[13] Ahmad al-Syirbashi, Sejarah Tafsir al-Qur’an (Jakarta: Firdaus, 2001), hlm. 161

[14] Quraish Syihab, Studi …hlm. 65

[15] Ignaz Goldziher,mazhab……..hal 422

[16] Quraih Syihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar (Bandung, PUSTAKA HIDAYAH, 1994), hlm. 14

No comments:

Post a Comment