Saturday, January 28, 2012

PEMIKIRAN HARRALD MOZKY DALAM KAJIAN ORIENTALIS

A.    Otentisitas Hadis; Respektif Harald Motzki Terhadap Kubu Skeptis

    Dalam studi hadis kontemporer, diskursus tentang hadis merupakan salah satu hal yang kompleks serta mengunduh banyak kontroversi. Mengetahui keotentikan hadis juga telah menjadi studi yang urgen mengingat keberadaan hadis dalam berbagai aspek selalu menyisakan pertanyaan lalu sikap skeptic akan keotentikannya, seiring perputaran zaman dan perbedaan sosio-kultur dari masa Nabi ke era kontemporer saat ini .  
Berdasarkan hal tersebut, merupakan suatu kewajaran jika muncul skeptisisme seputar keotentikan hadis baik di kalangan insider (baca: muslim) maupun outsider (baca: non muslim). Sejak abad sembilan belas muncul asumsi-asumsi dari kalangan orientalis seperti Goldziher dan Schacht serta para pendukungnya yang secara umum menafikan historisitas penyandaran hadis kepada Nabi dan Sahabat telah mengalami revisi signifikan. Dengan kata lain, Goldziher mengklaim bahwa jurisprudensi Islam berkembang umumnya dari ra’yi, bukan dari Qur’an dan Sunnah.  Inti dari pendapat Goldziher tentang asal mula hadis adalah bahwa pada abad pertama hadis belum ada.  Demikian dengan Schacht yang berpendapat bahwa pengertian Sunnah dalam masyarakat Islam pada awalnya adalah "hal-hal kebiasaan" atau "hal-hal yang menjadi tradisi yang secara umum juga disandarkan pada ra’yu.  Kemudian, Ia menyatakan bahwa awalnya sunnah masih bersifat anonymous (tanpa nama) kemudian dikelindankan kepada orang-orang tertentu pada masa tab’in, lalu disandarkan kepada shahabat dan akhirnya kepada Nabi.  Dan masih banyak lagi asumsi lain mereka yang kiranya tidak perlu diualas kembali karena telah dibahas dalam makalah-makalah sebelumnya.
Mulai saat itu, pengaruh Goldziher dan Schacht sangat kuat dikalangan orientalis , baik yang sependapat dengan mereka maupun dari para kritikus lainnya. Motzki, salah satu contoh dari seorang yang tertarik, terinspirasi dan dipengaruhi oleh Schacht dalam penelitian hadisnya. Hal tersebut tampak dari karyanya The Origin of Islamic jurisprudence Meccan Fiqh before theClassical Schools. Dalam karyanya tersebut Motzki berpijak dari teori-teori dibangun oleh Schacht yang dikajinya lebih jauh, namun berbeda hasi pada akhirnya.
Harald Motzki membantah teori Schacht bahwa isnad paling lengkap adalah yang paling belakang, serta cenderung membengkak jumlahnya kebelakang. Selainnya Motzki juga tidak sepakat dengan skeptisisme Schacht yang menganggap semua hadis palsu.  Untuk selanjutnya Motzki menjadikan salah satu kitab hukum klasik yaitu “Musannaf ‘Abd al-Razaq” sebagai objek kajiannya untuk membuktikan hadis telah ada pada masa awal atau satu hijriah serta mengenai keotentikannya.

B.    Metode dan Pendekatan Harald Motzki dalam Meneliti Otentisitas Hadis dalam kitab Mushannaf ‘Abd al-Razzaq.

Sebagaimana diungkapkan Komaruddin Amin bahwa segenap sarjana non-Muslim menggunakan metode penanggalan (dating), yakni menentukan umur dan asal muasal terhadap sumber sejarah, untuk menilai historisitas sebuah hadis. Setidaknya ada empat metode penanggalan yang digunakan dalam kesarjanaan hadis non-Muslim, yaitu: (1) penanggalan atas dasar analisis matan, digunakan oleh Ignaz Goldziher dan M. Speight, (2) penanggalan atas dasar analisis sanad, digagas oleh Joseph Schacht dan dikembangkan oleh Juynboll, (3) penanggalan atas dasar kitab-kitab koleksi hadis, dipraktekkan juga oleh Schacht dan Juynboll, dan (4) penanggalan atas dasar analisis sanad dan matan.  Motzki dalam hal ini menggunakan metode yang disebut terakhir, yang juga dikenal dengan isnad cum matan analysis.
Diantara karakteristik metode isnad cum matn analysis adalah kualitas seorang perawi tidak hanya didasarkan pada komentar ulama tentang perawi tersebut. Komentar ulama tentangnya menjadi sekunder. Kualitas perawi ditentukan terutama oleh matn atau teks dari perawi tersebut. Adapun analisa matn yang dimaksud dalam metode ini bukan apakah matn itu bertentangan dengan al-Quran atau riwayat yang dianggap lebih kuat, akal, indera atau fakta sejarah, dan mengindikasikan sabda kenabian, seperti yang diusung oleh Shalahuddin al-Adlabi.  Melainkan menganalisa sejauh mana riwayat teks seorang perawi melenceng atau berbeda secara tekstual dengan riwayat yang lain. Namun sebelum analisa tekstual dilakukan, terlebih dahulu dilakukan pemetaan siapa yang menerima riwayat serta dari siapa, mulai dari mukharrij sampai ke perawi terakhir (sahabat) atau pemilik berita (nabi).  
Dalam mengkaji Mushannaf ‘Abd al-Razzaq, Motzki juga menggunakan pendekatan traditional-historical yaitu metode yang bekerja dengan cara menarik sumber-sumber awal dari kompilasi yang ada, yang tidak terpelihara sebagai karya-karya terpisah, dan memfokuskan diri pada materi-materi para rawi tertentu, ketimbang pada hadis-hadis yang terkumpul pada topik tertentu. Pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan kajian sejarah yang terdapat dalam sumber-sumber kutub ar-rijal dan kutub ath-thabaqah.  Karena itu dalam penelitiannya, Motzki hanya memfokuskan pada beberapa materi para rawi tertentu yang terdapat dalam Mushannaf  ‘Abd al-Razzaq.
Dalam penelitiannya, Motzki hanya meneliti 21 % hadis dalam kitab tersebut (3810 hadis dari 21033 hadis), ia juga mengklarifikasi sumber-sumber riwayatnya. Setelah diketahui hasilnya, ia kemudian menganalisa struktur transmisi dari empat sumber ‘Abd al-Razzaq yang paling dominan, yaitu: Ma’mar (32%), Ibnu Juraij (29%), Sufyan al-Tsawri (22%) dan Ibnu ‘Unainah (4%).  Adapun sisanya (13%) berasal dari tokoh-tokoh yang berbeda, dan kurang dari 1% berasal dari tokoh abad kedua Hijiriah, seperti Abu Hanifah (0,7%) dan Malik (0,6%).  Dominasi transmisi riwayat oleh keempat tokoh tersebut dapatlah dikatakan sebagai sesuatu yang wajar adanya mengingat tokoh-tokoh tersebut, terutama tiga tokoh tersebut pertama, adalah guru-guru ‘Abd Razzaq itu sendiri.
Penelusuran yang dilakukan Motzki atas strukutur Mushannaf ‘Abd al-Razzaq mengantarkannya pada kesimpulan bahwa materi-materi (hadis-hadis) yang disandarkan oleh ‘Abd al-Razzaq kepada keempat informan utamanya adalah sumber otentik, bukan merupakan penyandaraan palsu yang diciptakannya sendiri. Lebih lanjut lagi, dalam penelitiannya Motzki membuktikan historisitas penyandaran hukum yang dilakukan oleh Ibnu Juraij kepada ‘Atha’ dengan dua pisau analisis, External criteria of authenticity dan Internal formal criteria of authenticity.
Dalam External criteria of authenticity, Motzki membaginya menjadi dua bagian. Pertama, magnitude (dari segi sanad) yaitu penelitian atas banyaknya sanad dan penyebarnya. Kedua, genre (dari segi matan) yaitu penelitian atas gaya atau style penyampaian. Dari penelitian magnitude nya terlihat bahwa sumber yang disebutkan Ibnu Juraij sangatlah beragam, 40% kepada ‘Athta’, 25% kepada Amr bin Dina, Ibnu Syihab, Ibn Tawus, Abu az-Zubair dan ‘Abdl Karim, 8,1 % kepada Hisyam bin ‘Urwah, Yahya bin Sa’id, Ibn Abi Mulayka, Musa bin ‘Uqbah dan Amr bin Syu’ab, dst. Sedangkan dari segi genre nya, Motzki membaginya menjadi dua kategori, (1) responsa (jawaban atas pertanyaan, baik dari Ibnu Juraij atau orang lain), seperti ungkapan “saya bertanya kepada ‘Atha’ tentang....” dan (2) dicta, yaitu pernyataan yang tidak didahului pertanyaan, bisa mengndung pendapat sendiri atau orang lain.
Baik analisa magnitude ataupun genre dalam permasalahan otentisitas teks menurut Motzki menunjukan implausibilitas asumsi bahwa Ibnu Juraij telah melakukan pemalsuan. Hal ini karena dalam analisis genre menunjukkan:  (1) baik responsa ataupun dicta yang muncul dalam proporsi yang memiliki perbedaan begitu signifikan dalam kasus sejumlah sumber Ibnu Juraij dan (2) perbedaan frekuensi gaya pertanyaan (direct, indirect, anonimous, non-anonimous) bertentangan dengan asumsi bahwa Ibnu Juraij telah melakukan projecting back. Bahkan sebaliknya, baik kualitas maupun kuantitas responsa ‘Atha’ atas pertanyaan Ibnu Juraij menunjukkan hubungan historis yang panjang antara keduanya.
Adapun untuk Internal formal criteria of authenticity penelitian difokuskan untuk mengetahui sejauh mana profil Ibnu Juraij terefleksi dalam materi ‘Atha’, berikut ini disebutkan enam hal yang terkategorikan sebagai Internal formal criteria of authenticity:
1.    Ibnu Juraij tidak hanya menyajikan pendapat hukum dari generasi sebelumnya, tapi juga menyampaikan pendapat hukumnya sendiri.
2.    Ibnu Juraij tidak hanya menyajikan matrei ‘Atha’, tetapi juga memberikan tafsir, komentar, bahkan kritik terhadap materi tersebut.
3.    Ibnu Juraij juga terkadang mengekspresikan ketidakyakinannya atas maksud dan perkataan ‘Atha’ atas sebuah masalah.
4.    Ibnu Juraij kadang-kadang juga meriwayatkan materi ‘Atha’ dari orang lain.
5.    Adanya upaya Ibnu Juraij untuk menyajikan materinya secara tepat dan verbatim. Hal ini dapat dilihat dalam kasus Ibnu Juraij yang merekam perbedaan ‘Atha’ dari sumber selain ‘Atha’.
6.    Ibnu Juraij juga sewaktu-waktu menunjukan kelemahan sumber insewaktu-waktu menunjukan kelemahan sumber informasinya (‘Atha’).
Dengan demikian dari dua analisis tersebut, terlihat adanya rujukan kepada otoritas lebih awal yang tidak seimbang dan sporadis, yang mana hal ini jelas menunjukkan bahwa Ibnu Juraij bukanlah pemalsu. Karena bukankah jika ia melakukan pemalsuan ia hanya akan menyandarkan kepada satu atau beberapa fuqaha atau perawi yang terkenal saja. Maka dengan ini, Motzki menyatakan dengan tegas bahwa materi yang disampaikan oleh Ibnu Juraij adalah otentik adanya, ia tidak mungkin melakukan pemalsuan atau projecting back. Di samping itu juga mengingat bahwa keempat koleksi teks dari informan utamanya memiliki kekhasan masing-masing, juga gaya penyajian materi ‘Abd al-Razzaq yang sering mengekspresikan keraguannya atas suatu riwayat. Keraguan ini diakui secara jujur dan terbuka. di mana kekhasan dan keraguan tersebut tidak akan ditemukan pada seseorang yang memang berniat melakukan pemalsuan.
C.    Aplikasi Teori Harald; pembuktian Motzki atas Otentisitas Hadis dengan  Musannaf ‘Abd al-Razaq
    Untuk membuktikan otentisitas hadis yang telah ada pada abad pertama Hijriah, Motzki menggunakan Musannaf ‘Abd al-Razaq sebagai kajian utamanya. Dengan alasan ketika dokumen sejarah pada abad pertama –dalam hal ini adalah Musannaf Abd al-razaq- mampu dibuktikannya sebagai dokumen yang otentik abad pertama hijriah, maka hadis-hadisnya pun  yang secara tidak langsung diakui pula keotentisitasnya. Penelitian Motzki terhadap Musannaf tersebut pada kesimpulannya dapat dipercaya sebagai sumber hadis yang otentik pada abad pertama hijriah.
    Motzki dalam penelitiannya menggunakan traditional-historical yang telah dibahas pada bab sebelumnya, maka dalam aplikasinya Motzki tidak memfokuskan pada hadis-hadis yang terkumpul pada topik tertentu, namun ia lebih memfokuskan pada beberapa materi para rawi tertentu yang terdapat dalam Musannaf ‘Abd al-Razaq.  Menurutnya, penelitian struktur periwayatan yang dilakukan dalam ‘Abd al-Razaq memberikan kesimpulan bahwa materi-materi yang diletakkan atas nama empat tokoh sebagai sumber utamanya adalah sumber asli, dan bukanlah fiktif yang direkayasa. Untuk membuktikan hal ini Motzki meneliti empat tokoh yang menjadi otoritas utama dari ‘Abd Razaq, yang ke empatnya adalah guru ‘Abd Razaq yakni : Ma’mar, meriwayatkan darinya sekitar 32%, Ibnu Juraij sekitar 29%, dari al-Sawri 22%, dan dari Ibnu Uyainah 4% lalu sisanya 13% dari tokoh yang berbeda. Sedangkan 1%nya didapat dari tokoh yang berasal dari abad ke dua hijriah, seperti Abu Hanifah, dan Malik. 
    Dari pemaparan di atas, Motzki menyatakan bahwa keragaman sumber dalam suatu koleksi merupakan suatu kemungkinan yang besar, tidak mungkinnya seseorang memalsukan hadis, ditambah lagi dengan kefokusan asal-usul rawi dan kedetailan serta pendalaman penelusuran terhadap suatu teks serta kedetailan terhadap karakter ataupun kekhasan teks, maka semakin signifikan perbedaan-perbedaan yang dijumpai.  Fakta lain yang mengokohkan keotentikannya yakni gaya penyajian materi ‘Abd al-Razaq yang tidak jarang mengekspresikan keraguannya atas sumber yang pasti terhadap sebuah hadis atau secara jujur mengakui ketidak pastian sebuah riwayat,  yang semua itu menurut Motzki tidak akan ditemukan pada seseorang pemalsu hadis.  
    Lebih dalam lagi, Motzki tidak berhenti pada kesimpulan ‘Abd al-Razaq bukan seorang pemalsu. Namun ia menganalisis lebih jauh lagi dengan melihat hubungan antar guru dan murid, yakni antara ‘Abd al-Razaq dengan perawi diatasnya yakni Ibnu Juraij adalah seorang ulama dari Makkah yang menghimpun sekitar sepertiga dari Kitab Musannaf dan terdiri sekitar 5000 Hadis. . Motzki melihat akan relasi Ibnu Juraij dengan ‘Abd al-Razaq maupun dengan guru-gurunya merupakan relasi yang bersambung dan menunjukkan keotentisitasannya yang valid. Dinyatakan pula oleh Motzki bahwa Ibnu Juraij bukanlah seorang pemalsu, dengan landasan bahwa Ibnu Juraij banyak mengeksplore argumenya sendiri mengenai suatu hadis tanpa menyandarkannya kepada otoritas yang lebih awal.
Motzki tidak berhenti di sini. Ia masih berusaha untuk menganalisa level berikutnya,  dengan memfokuskan dari sumber yang paling sering diikuti oleh Ibn Jurayj, yaitu ‘Ata’ ibn Abi Rabah (w. 155 H./733 M.) Motzki merekonstruksi  sumber (Musannaf ‘Abd al-Razzaq) yang merekam figur ‘Ata’.  Rekonstruksi Motzki menjadikan ‘Ata’ sebagai figur penting dizamanya, yang penyandarkan sejumlah hukum kepadanya adalah historis.  Untuk klaim historisitas antribusi hukum kepada ‘Ata’, Motzki menganalisa penyandaraan hukum yang dilakukan oleh Ibn Jurayj kepada ‘Ata’ dalam Musannaf  ‘Abd al-Razzaq, dengan mengajukan analisa ia sebut sebagai External Criteria  dan Internal Formal Criteria Authentic. Yang tidak akan dipaparkan dimakalah ini, mengingat dirasa telah cukup pemaparan sebelumnya mengenai skema pemikiran Motzki mengenai otentisitas hadis, yang memang merupakan titik sorot pada makalah kali ini.