Sunday, June 17, 2012

Aisyah, Sang Ummul Mukminin bagi nabi Muhammad SAW


Seorang perempuan periwayat hadits terbesar pada masanya. Dia juga terkenal sebagai seorang yang cerdas, fasih, dan mempunyai ilmu bahasa yang tinggi. Dia merupakan salah seorang terpenting yang mempunyai pengaruh besar dalam penyebaran ajaran-ajaran Islam.

Dia dilahirkan di Makkah kira-kira pada tahun kedelapan sebelum Hijriyah. Ketika Khadijah meninggal dunia, Rasulullah merasa amat sedih hingga dirinya merasa khawatir. Kemudian, saat tekanan kesedihan mereda beliau berusaha mengalihkan perhatian dengan mengunjungi rumah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan berkata, “Wahai Ummu Ruman, jagalah Aisyah anak perempuanmu itu dengan baik, dan peliharalah dia!”

Oleh karena ucapan Rasulullah ini, Aisyah mempunyai kedudukan istimewa dalam keluarganya. Sejak Abu Bakar masuk Islam hingga masa hijrah, Rasulullah tak pernah lupa mengunjungi rumah Abu Bakar dan keluarganya.

Rasulullah menikahi Aisyah dan memberinya 400 dirham. Hal tersebut terjadi di Makkah pada bulan Syawal tiga tahun sebelum Hijrah. Pada saat itu Aisyah masih berumur tujuh tahun. Namun Rasulullah baru membangun bahtera rumah tangga dengan Aisyah ketika dia sudah berumur sembilan tahun di Madinah, pada bulan Syawal tahun pertama Hijrah. Aisyah adalah seorang wanita yang paling beruntung yang dipunyainya, dan paling dicintainya diantara istri-istri Rasul yang lain.

Bahkan saking cintanya Rasulullah saw pada Aisyah, beliau mendoakannya dengan doa, “Ya Allah, ampunilah Aisyah dari dosanya yang telah lalu dan yang akan datang, yang tersembunyi dan yang terlihat.”

Aisyah juga amat mencintai Rasulullah SAW. Pada suatu ketika, Nabi saw datang padanya dan berkata, “Aku akan menawarkan padamu suatu perkara, kau tidak perlu terburu-buru untuk memutuskannya hingga kau berdiskusi dengan kedua orang tuamu.”

Aisyah bertanya, “Tentang apa ini, ya Rasulullah?”

Kemudian Nabi SAW membacakan, “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: "Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, marilah supaya kuberikan kepadamu mut'ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang yang berbuat baik di antaramu pahala yang besar.” (QS Al-Ahzab: 28-29)

Aisyah berkata, “Lalu untuk apa kau menyuruhku berunding dengan kedua orang tuaku, padahal aku telah tahu. Demi Allah, kedua orang tuaku tidak akan menyuruhku untuk berpisah darimu. Bahkan aku telah memutuskan untuk memilih Allah, Rasul-Nya dan akhirat.” Nabi merasa gembira dengan ucapan Aisyah itu dan merasa takjub.

Kecintaan besar yang dinikmati Aisyah tentu saja merupakan faktor pemicu pada sebagian orang untuk merasa iri dan cemburu. Sehingga mereka melemparkan tuduhan pada wanita suci ini, kemudian Allah membebaskan dirinya dari segala tuduhan tersebut, dan kisah itu termaktub dalam Al-Quran. Setelah kejadian itu, kedudukan Aisyah semakin bertambah mulia dan Rasulullah SAW semakin bertambah cinta padanya.

Ketika Ali bin Abi Thalib menjabat sebagai khalifah ketiga menggantikan Utsman, Aisyah terlibat dalam gerakan orang-orang yang menuntut balas atas pembunuhan khalifah kedua itu. Sesuatu yang belum dilakukan oleh pemerintahan Ali. Konflik inilah yang kelak dikenal dengan Perang Jamal (unta).

Pada saat terjadi pertempuran, pasukan Aisyah kalah. Setelah itu, Ali memerintahkan Muhammad bin Abu Bakar, saudara Aisyah, untuk mengantarkan Ummul Mukminin. Muhammad mengantar Aisyah ke rumah Abdullah bin Khalaf Al-Khuza’i, salah seorang yang gugur dalam pertempuran hari itu. Kemudian Ali menyiapkan segala sesuatu, berupa tunggangan, perbekalan, dan makanan untuk Aisyah.

Pada hari Aisyah hendak meninggalkan kota Basrah, Ali datang padanya dan berdiri di sampingya. Banyak pula orang yang datang, lalu Aisyah keluar menemui mereka untuk mengucapkan salam perpisahan. Aisyah berkata, “Wahai anak-anakku, kita saling menegur satu sama lain dengan santun dan sopan untuk mencari kebenaran, maka janganlah kalian saling bermusuhan satu sama lainnya yang dapat menimbulkan perpecahan. Sungguh demi Allah, apa yang terjadi antara diriku dan Ali di masa lalu merupakan sesuatu yang terjadi antara perempuan dan kawan karibnya. Sesungguhnya bagi diriku merupakan teguran dari orang-orang yang terpilih.”

Ali menambahkan, “Wahai manusia, benar ucapan Aisyah, demi Allah apa yang disampaikannya merupakan kebenaran yang sesungguhnya. Apa yang telah terjadi antara diriku dan dirinya sebagaimana yang telah diucapkannya. Sesungguhnya dia adalah istri Nabi kalian di dunia dan akhirat.”

Ketika Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib terbunuh, berita duka tersebut sampai ke Madinah. Kesedihan melanda kota Madinah, persis saat kesedihan mereka menghadapi wafatnya Rasulullah SAW. Aisyah juga teramat sedih dan berlinang air mata, bukan tangisan yang dibuat-buat.

Keesokan harinya, dikatakan Aisyah pergi menuju makam Rasulullah. “Wahai Rasulullah, dan juga para sahabatmu,” kata Aisyah, “Aku datang membawa berita duka padamu. Orang yang paling kau sayangi, orang yang selalu kau ingat sepanjang hidupmu, orang yang paling mulia di sisimu telah terbunuh. Demi Allah, orang yang mempunyai istri terbaik diantara para wanita itu telah terbunuh. Demi Allah, orang yang beriman dan memegang teguh amanah telah wafat. Sungguh diriku merasa sedih dan banyak orang yang menangis karena kepergiannya.”

Aisyah juga dikenal sebagai pembawa bendera dalam bidang keilmuan dan pengetahuan di masanya. Seakan-akan dia lampu terang yang menyinari para ahli ilmu dan penuntut ilmu. Bahkan sahabat Nabi saw datang padanya untuk menanyakan tentang ilmu yang masih sulit dimengerti dan beberapa masalah keilmuan, dia memberikan jawaban yang memuaskan dengan tenang dan teliti. Suatu jawaban yang tidak mudah diberikan kecuali oleh orang yang sudah mencapai tahap keilmuan yang tinggi.

Aisyah juga terhitung salah seorang yang keilmuannya melampaui banyak orang lainnya dalam hal Al-Qur’an, hadits, fiqh, syair, cerita-cerita Arab, hari-hari mereka dan nasab mereka.

Menurut perhitungan, diantara orang-orang yang menghapal hadits dari para sahabat lebih dari seratus tiga puluh orang, lelaki dan perempuan. Dan orang yang paling banyak hapalannya diantara mereka ada tujuh orang; Umar bin Khathab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Aisyah Ummul Mukminin, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar.

Aisyah meriwayatkan beberapa hadits dari Rasulullah SAW, Abu Bakar, Umar bin Khathab, Fatimah Zahra, Sa’ad bin Abi Waqash, Hamzah bin Amr Al-Aslami, Judzamah binti Wahab, sekitar 2.210 hadits. Oleh karena itu, Aisyah termasuk salah seorang periwayat hadits yang paling banyak.

Peringkatnya di bawah prestasi Abu Hurairah yang meriwayatkan 5.394 hadits, dan tepat di bawah Abdullah bin Umar bin Khattab yang meriwayatkan 2.638 hadits. Aisyah berada di atas prestasi Ibnu Abbas yang meriwayatkan 1.660 hadits. Setelah itu Jabir bin Abdullah Al-Anshari yang meriwayatkan 1.540 hadits, dan dia berada di atas Abu Sa’id yang meriwayatkan 1.170 hadits.

Dari dulu Aisyah dikenal sebagai orang yang jujur, banyak beribadah, tahajud, dan berpuasa. Aisyah juga dikenal sebagai orang yang pemalu. Ketika dia masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat makam Rasulullah dan Abu Bakar dia tidak perlu memakai hijab, karena dua orang tersebut adalah suami dan ayahnya. Namun ketika Umar bin Khattab dikubur di sebelah keduanya, dia tidak lagi membuka hijabnya karena malu kepada Umar bin Khathab.

Aisyah wafat pada 17 Ramadhan tahun 57 H, ada juga yang mengatakan tahun 58 H, di Madinah, dalam usia 66 tahun. Dia menginginkan agar dikuburkan pada malam hari. Orang-orang Anshar berkumpul, dan tiada satu malam yang pernah mereka saksikan sebelumnya dengan lautan manusia yang mengiringi jenazah Aisyah pada malam itu.

Aisyah dikuburkan di Baqi’ dan dishalatkan oleh Abu Hurairah yang menjadi imam. Ada lima orang yang turun ke dalam liang kuburnya; Abdullah dan Urwah (keduanya anak Zubair), Qasim dan Abdullah (keduanya anak Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shiddiq), dan Abdullah bin Abdurrahman bin Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Sumber: www.Republika online.co.id

sejarah Ummu Umarah(pejuang wanita masa rasulullah SAW)


Wanita merupakan sosok yang penuh pertanyaan sampai kapanpun, karena bagaimanapun wanita akan terus berada didunia ini. Wanita pada dasarnya suatu saat akan menjadi Ibu bagi anak-anaknya, Ibu yang akan menjadi pemimpin serta pengingat bagi suaminya ketika suaminya telah melangkah pada jalan yang salah. Itulah sebabnya mengapa wanita kadang jika ditelaah ulan memiliki 1000 rahasia yang tak akan pernah habis jik kita butuhkan lautan menjadi tintanya. Karena saking banyaknya rahasia serta kesabaran mereka, mereka tumbuh sebagai perempaun-perempuan yang berwawasan tinggi serta disegani oleh dunia(Amiin)

Mungkin orang yang belum pernah mendengar namanya akan mengerutkan dahi sembari bertanya, siapakah dia? Namun tak mungkin diingkari, dia adalah seorang shahabiyah yang memiliki untaian kemuliaan besar. Kemuliaannya tertulis dalam sejarah kaum muslimin. Dia bernama Nusaibah bintu Ka’b bin ‘Amr bin Mabdzul bin ‘Amr bin Ghanam bin Mazin bin An Najjar x. Ibunya bernama Ar Rabbab bintu ‘Abdillah bin Habib bin Zaid bin Tsa’labah bin Zaid Manat bin Habib bin ‘Abdi Haritsah bin ‘Adlab bin Jasym bin Al Khazraj.

Ummu ‘Umarah dipersunting oleh Zaid bin ‘Ashim bin ‘Amr bin ‘Auf bin Mabdzul bin ‘Amr bin Ghanam bin Mazin bin An Najjar. Mereka dikaruniai dua orang putra, ‘Abdullah dan Habib, yang kelak di kemudian hari menjadi shahabat Rasulullah n yang menyertai beliau dalam medan peperangan. Sepeninggal suaminya, Ummu ‘Umarah menikah dengan Ghaziyah bin ‘Amr bin ‘Athiyah bin Khansa’ bin Mabdzul bin ‘Amr bin Ghanam bin Mazin bin An Najjar z. Dari pernikahan mereka, lahir Tamim dan Khaulah.

Ummu ‘Umarah x menyambut datangnya seruan Rasulullah n. Setelah keislamannya itu, Allah I menganugerahkan banyak kemuliaan padanya. Satu per satu peristiwa besar turut dilaluinya. Dia salah satu wanita yang hadir pada malam ‘Aqabah dan berbai’at kepada Rasulullah n. Medan Uhud, Hudaibiyah, Khaibar, ‘Umratul Qadla’, Hunain tak lepas dari sejarah perjalanan hidupnya bersama Rasulullah n. Bahkan semasa pemerintahan Abu Bakr Ash Shiddiq z, dia turut terjun memerangi Musailamah Al Kadzdzab dalam perang Yamamah.

Kisah indah dan mengesankan dalam medan pertempuran Uhud, tatkala Ummu ‘Umarah x ikut berperan dalam kancah itu bersama suaminya, Ghaziyah bin ‘Amr serta kedua putranya, ‘Abdullah dan Habib g. Dengan membawa geriba tempat air minum untuk memberi minum pasukan yang terluka, Ummu ‘Umarah berangkat bersama pasukan kaum muslimin di awal siang.
Pertempuran berlangsung dahsyat. Ketika pasukan kaum muslimin tercerai berai, tak tersisa di sisi Rasulullah n kecuali hanya beberapa orang yang tak sampai sepuluh orang banyaknya. Di saat yang genting itu, Ummu ‘Umarah terjun langsung dalam peperangan dengan pedangnya. Bersama suami dan dua putranya, Ummu ‘Umarah mendekati Rasulullah n, melindungi di depan beliau dengan segenap kemampuan.

Tanpa perisai Ummu ‘Umarah melindungi Rasulullah n, sementara sebagian besar pasukan muslimin lari kocar-kacir. Di antara orang-orang yang berlarian menjauh dari beliau, ada seseorang yang lari membawa perisainya. Beliau pun berseru, “Berikan perisaimu pada orang yang berperang!” Orang itu pun melemparkan perisainya dan segera diambil oleh Ummu ‘Umarah. Ummu ‘Umarah pun bertameng dengannya. Demikian keadaan yang mereka hadapi saat itu, sementara lawan mereka adalah pasukan berkuda kaum musyrikin.

Tiba-tiba datang seorang penunggang kuda memacu kudanya sembari menyabetkan pedangnya ke arah Ummu ‘Umarah. Ummu ‘Umarah menangkis tebasan itu dengan perisainya hingga orang itu tak berhasil berbuat sesuatu. Ummu ‘Umarah pun menebas kaki kudanya hingga penunggang kuda itu pun terjatuh. Menyaksikan hal itu, Rasulullah n segera memanggil salah seorang putra Ummu ‘Umarah, “Ibumu! Ibumu!” Dengan cepat putra Ummu ‘Umarah datang membantu ibunya hingga dapat melumpuhkan musuh Allah itu.


Di tengah berkecamuknya perang, putra Ummu ‘Umarah, ‘Abdullah bin Zaid terluka di lengan kirinya, ditebas oleh seseorang yang sangat cepat datangnya dan berlalu begitu saja, tanpa sempat dia kenali. Darah pun mengucur tak henti. Melihat itu, Rasulullah n berkata, “Balut lukamu!” Ummu ‘Umarah pun datang membawa pembalut yang dipersiapkannya untuk membalut luka-luka, segera mengikat luka putranya, sementara Rasulullah n berdiri mengawasi. Usai mengikat luka, Ummu ‘Umarah berkata pada putranya, “Bangkitlah! Perangilah orang-orang itu!” Mendengar ucapannya, Rasulullah n  mengatakan, “Siapa yang mampu melakukan seperti yang kaulakukan, wahai Ummu ‘Umarah?”
Kemudian datanglah orang yang melukai ‘Abdullah. Rasulullah n pun berkata, “Itu orang yang menebas putramu!” Ummu ‘Umarah segera menghadangnya dan menebas betisnya hingga orang itu terjatuh. Rasulullah n  tersenyum menyaksikannya hingga tampak gigi geraham beliau. Ummu ‘Umarah pun menebasnya bertubi-tubi hingga mati. Rasulullah n mengatakan pada Ummu ‘Umarah, “Segala puji milik Allah yang telah menolongmu serta menyenangkan hatimu dengan keadaan musuhmu dan memper-lihatkan pembalasan itu di depan matamu.”

Ummu ‘Umarah pun menderita luka-luka dalam peperangan itu. Luka yang paling besar terdapat di pundaknya, karena tikaman pedang seorang musuh Allah dan Rasul-Nya, Ibnu Qami’ah. Saat itu, Ibnu Qami’ah datang dan berseru, “Tunjukkan aku pada Muhammad! Aku tidak akan selamat kalau dia selamat!” Dia pun segera dihadang oleh Mush’ab bin ‘Umair z bersama para sahabat yang lain. Ummu ‘Umarah berada dalam barisan itu. Maka Ibnu Qami’ah menghunjamkan pedangnya ke pundak Ummu ‘Umarah. Ummu ‘Umarah pun membalas dengan beberapa kali tebasan, namun musuh Allah itu mengenakan baju perang yang melindunginya.
Tatkala melihat Ummu ‘Umarah terluka di pundaknya, Rasulullah n berseru pada ‘Abdullah, “Ibumu! Ibumu! Balutlah lukanya! Semoga Allah memberikan barakah kepada kalian wahai ahlul bait. Kedudukan ibumu pada hari ini lebih baik daripada kedudukan si Fulan dan si Fulan. Semoga Allah memberikan barakah kepada kalian wahai ahlul bait. Kedudukan suami ibumu lebih baik daripada kedudukan si Fulan dan si Fulan. Semoga Allah memberikan barakah kepada kalian wahai ahlul bait!” Ummu ‘Umarah pun meminta, “Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar kami menemanimu di dalam surga!” Beliau pun berdoa, “Ya Allah, jadikan mereka orang-orang yang menemaniku di dalam surga.” Ummu ‘Umarah berkata, “Aku tidak peduli lagi apa yang menimpaku di dunia.”

Dua belas luka didapatkan oleh Ummu ‘Umarah dalam peperangan itu. Tikaman pedang Ibnu Qami’ah itulah luka yang paling parah yang diderita oleh Ummu ‘Umarah, hingga dia harus mengobati luka tersebut setahun lamanya.
Keadaan luka yang sedemikian hebat tak menyurutkan semangat Ummu ‘Umarah untuk membela Allah dan Rasul-Nya. Ketika kaum muslimin diseru untuk bersiap menuju peperangan di Hamra`il Asad, Ummu ‘Umarah pun menyingsingkan bajunya. Namun, dia tak kuasa menahan kucuran darah dari lukanya. Dalam semalam lukanya terus diseka hingga pagi.
Sepulang dari peperangan di Hamra`il Asad, Rasulullah n mengutus ‘Abdullah bin Ka’b Al-Mazini untuk menanyakan keadaan Ummu ‘Umarah. ‘Abdullah bin Ka’b pun melaksanakan perintah beliau, kemudian menyampaikan kabar Ummu ‘Umarah kepada beliau.
Kecintaannya pada Allah dan Rasul-Nya terus diwujudkannya, sampai pun setelah Rasulullah n wafat. Ketika Abu Bakr Ash Shiddiq z menjabat sebagai khalifah, muncul seorang pendusta bernama Musailamah Al-Kadzdzab, yang mengaku sebagai nabi. Abu Bakr z pun memeranginya bersama pasukan kaum muslimin dalam perang Yamamah. Ummu ‘Umarah pun turut serta dalam pasukan itu. Di sanalah Ummu ‘Umarah terpotong tangannya dan menderita sebelas luka lainnya karena tebasan pedang dan tusukan tombak. Di sanalah pula Ummu ‘Umarah kehilangan putranya, Habib bin Zaid z.

Tak hanya dalam peperangan dia hadir di sisi Rasulullah n. Pun Ummu ‘Umarah meriwayatkan ilmu dari beliau, serta menyebarkannya pada manusia. Perwujudan cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya dengan segala pengorbanan jiwa dan raga sepanjang perjalanan kehidupannya di dunia, mengan-tarkan dirinya untuk mendapatkan kemuliaan yang kekal selama-lamanya.
Ummu ‘Umarah, semoga Allah meridhainya….
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
Sumber: Http/ Berita Online, at As-syari’ah. Co.id.