Friday, June 8, 2012

Nisreen Mansour Al Forgani, Sang pejuang Khusus Khadafi

Usianya baru menginjak 19 tahun. Namun, tangan Nisreen Mansour Al Forgani sudah berlumuran darah, karena pertempuran yang dilakukan demi Pemimpin Libya Muammar Gaddafi.

Perempuan itu memiliki mata coklat yang besar. Dengan bibir merekah dan lilitan syal warna merah muda di kepalanya, Nisreen memang terlihat cantik. Namun, dibalik kemolekannya, siapa sangka kalau ia ternyata juga anggota pasukan pembunuh untuk Khadafi.

Minggu (28/8) kemarin, di sebuah kamar rumah sakit militer di Matiga, Nisreen mengakui bahwa dia seorang pasukan khusus pembunuh Gaddafi. Gadis yang kaki lebamnya terikat di tempat tidur ini, mengaku telah mengeksekusi 11 tersangka pemberontak, ketika mereka sampai di Ibukota Tripoli.

Belasan orang itu ditembak dalam jarak dekat dengan tangan dingin. Setelah membunuh orang pertama, orang berikutnya dibawa masuk ke dalam ruangan. Orang kedua yang melihat jasad orang pertama, syok. “Saat itulah saya menembaknya juga, dari jarak semeter,” ujarnya tanpa berkedip.

Nisreen adalah salah satu dari ribuan gadis dan perempuan muda yang direkrut oleh brigade militan perempuan Gaddafi. Ia kini menjadi tawanan pemberontak dan mengkhawatirkan nyawanya. Banyak orang prihatin, meski ia membunuh belasan pemberontak.

Nisreen mengklaim, dokter dan sejumlah pemberontak percaya kisahnya. Bahwa ia mengeksekusi pemberontak juga dalam tekanan. Ia juga menyatakan dilecehkan secara seksual oleh tokoh militer senior, salah satunya adalah pemimpin brigade militan perempuan.

“Saya sudah mengungkapkan (kepada para pemberontak) apa yang saya lakukan. Mereka marah. Saya tak tahu apa yang akan terjadi,” lanjutnya, dengan tatapan tanpa ekspresi.

Anda mungkin heran, bagaimana bisa remaja sepertinya sudah bermain-main dengan darah. Nisreen tadinya hidup bahagia dengan sang ibu di Tripoli. Ia suka musik dan menikmati berdansa. Keluarganya bukan pendukung rezim Khadafi, meski mereka tetap hidup dengan tenang.

Saat kecil, orangtuanya berpisah dan Nisreen memutuskan tinggal dengan sang ibu karena ia tak menyukai ibu tirinya. Salah seorang kawan ibunya, perempuan bernama Fatma Al Dreby, adalah pemimpin brigade militan perempuan di salah satu cabang.

Di sinilah nasib Nisreen berubah. Tahun lalu, gadis ini berhenti kuliah untuk merawat ibunya yang sakit karena mengidap kanker. Fatma melihatnya sebagai kesempatan dan merekrut Nisreen untuk bergabung dengan brigadenya.

Keluarga Nisreen protes, tapi Fatma tak bergeming. Nisreen yang muda dan cantik memenuhi kriteria brigade tersebut. Terdapat seribu gadis dari seluruh Libya dan ia kebagian latihan di kamp Tripoli. “Saya bersama kawan kuliah saya dulu, seorang gadis bernama Faten.”

Ketika pemberontakan Libya dimulai, mereka ditugaskan menjaga titik-titik penjagaan di berbagai penjuru ibukota. Nisreen hanya sekali melihat Gaddafi, saat konvoinya melintasi titik yang ia jaga. Nisreen amat takut pada Fatma, yang mengancam akan membunuh jika keluarganya menentang Gaddafi.

Satu hari, Fatma memanggilnya ke sebuah ruangan dan di tempat itulah komandan brigadenya, Mansour Dou, memperkosa Nisreen. Fatma kembali mengancam agar Nisreen tutup mulut. Pemerkosaan ini berlanjut ke putra Mansour dan petinggi militer bernama Noury Saad.

Semua gadis yang ia kenal mengalami nasib serupa. Termasuk kawannya, Faten, yang tewas ditembak oleh pengawal Saif Al Islam, karena terlalu dekat dengan iring-iringan konvoi. Tak lama setelah itu, Tripoli diserbu dan peran Nisreen berubah menjadi eksekutor.

“Jika saya tak menembak mereka, saya yang akan dibunuh. Mereka babak belur, beberapa dipukuli di hadapan saya. Saya tak ingat wajah mereka, tapi hampir semuanya seusia saya,” ujar Nisreen sambil menangis. Dalam tiga hari sebelum tertangkap pemberontak, ia menembak mati 11 orang.

Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Islam dan Budaya

Perempuan seolah takkan pernah berhenti untuk dibicarakan, diselami dunianya, baik yang bersifat lahiriahnya: kecantikan maupun gaya hidup mulai dari tidur hingga bangunnya terus dikuak, maupun yang bersifat batiniah, jiwanya: olah rasa atau hal lainnya.
Perempuan seolah takkan pernah berhenti untuk dibicarakan, diselami dunianya, baik yang bersifat lahiriahnya: kecantikan maupun gaya hidup mulai dari tidur hingga bangunnya terus dikuak, maupun yang bersifat batiniah, jiwanya: olah rasa atau hal lainnya.

Perempuan memang asyik untuk dikaji. Makhluk Tuhan yang satu ini seolah harta atau khazanah yang mengundang decak kagum maupun sunggingan bibir yang mencoba mencemoohnya. Entah itu perempuan sendiri, lebih-lebih pria takkan luput untuk trambul ngomong, entah paham betul atau hanya waton ngomong, yang penting ngomong perempuan. Meskipun tak jelas apa yang diomongkan.

Keberadaan perempuan diomongkan secara silih berganti diberbagi tempat: mulai di tempat tidur, angkrinngan hingga di media massa. Bahkan tak tanggung-tanggung diadakan seminar pula. Di undanglah orang yang dianggap kompeten dalam masalah kewanitaan, maaf kewanitaan disini tidak mengarah pada masalh biologisnya melainkan ya biologis, sosiologis, psikologis maupun hal yang logis-logis lainnya. Dari itu semuanya itu hanya mengarah pada satu titik: sipa perempuan itu, bagaimana hakikatnya, apa dia boleh berbuat ini –itu, ataukah ia sekedar pelengkap, hiasan
dunia fana ini?. Asyik betul membicarakan masalah ini hingga tak sadar gelora jiwa membara, larut sekaligus lenyap siapa kita, perempuankah atau laki-laki. Semua tak sadar kerena tengah asyik untuk berada di wilayah yang unik ini.

Begitu pula yang dilakukan oleh divisi keagamaan BEM Pendidikan Kimia, ingin turut serta mewarnai perbincangan tentang sosok perempuan tersebut. Bertempat di teatrikal fakultas saintek UIN Yogyakarta, 10 September 2009, dimulai. Dengan menghadirkan pembicara dekan fakultas SAINTEK, Dra. Meizer Said Nahdli, M. Si, dan aktivis perempuan,
Yaya Setianingsih, S.H.I atu lebih akrab di panggil mbak Yayat.

Tema yang diangkat pada seminar ini adalah masalah kepemimpinan seorang perempuan jika dilihat dari ranah agama dan kebudayaan. Berhubungan dengan kacamata Islam tentunya mempertanyakan bagaimana Islam memandang perempuan tersebut, hakikat dan syarat bagi pemimpin yang kesemuannya ini sudah tentu harus ada kesesuaian dari sumber pokok Islam: al-Qur'an dan al-Hadist. Sedangkan budaya melihat dari sisi bagaimana kebudayaan setempat menempatkan sosok perempuan ditengah pusaran peradabannya, apa itu perempuan ( apakah keeksisitensiannya terbentuk karena faktor biologis, fisik, ataukah nama perempuan itu terbentuk karena pergumulan budaya?). Sejenak jika kita lihat, sebetulnya tema yang diusung pada seminar ini bisa dikatakatkan sudah usang tetapi kita tidak memandang usang atau aktual permasalahan itu muncul tetapi bagaimana permasalahan itu terus berkembang dan terus melahirkan polemik di tengah masyarakat.

Terbukti masalah kepemimpinan selalu hangat dibicarakan apalagi kepemimpinan yang dikomandani sesosok perempuan: heboh tentunya. Hal ini bukan karena sosok perempuan tidak mampu mengemban amanah kepemimpinan melainkan karena faktor telah lamanya tonggak kepemimpinan dipegang dan dkendalikan oleh laki-laki sehingga kedaan ini melahirkan suatu sikap yang menghegemoni pikiran masyarakat atau dengan kata lain masyarakat akan selalu "mengamini" kepemimpinan laki-laki bila dibanding pemimpin perempuan. Ranah agama pun seolah-olah mengamini kepemimpinan laki-laki. Sebuah bunyi hadis selalu dijadikan jargon bahwa kepemimpinan perempuan takkan menghasilkan apa-apa kecuali kemudhorotan.

Menurut Dra. Meizer Said Nahdli, M.Si, permasalahan siapa yang cocok menjadi pemimpin, laki-laki atau perempuan sebetulnya lahir karena faktor budaya sedangkan budaya itu sendiri terbentuk karena adanya interkasi cipta, rasa dan karsa antar manusia. Sehingga tak dipungkiri permasalahan kepemimpinan, siapa yang pantas memimpin tergantung tingkat intelektualitas, dan penghormatan masyarkat setempat terhadap perempuan.

Meskipun secara biologis, dekan sekaligus dosen biologi fakultas SAINTEK ini melanjutkan, perbedaan antar laki-laki dan perempuan ada. Sebagi contohnya tulang laki-laki massanya lebih berat dibandingkan perempuan tetapi itu bukanlah dasar untuk mengangkat pemimpin. Pemimpin dipilih bukan faktor otot melainkan otak. Islam sendiri juga tidak membeda-bedakan antara keduanya, Islam adalah agama dengan konsep keseimbangan kalau pun ada perbedaan
pembagian kerja hanya semata-mata konsep kesetimbangan untuk menjaga msayarakat agar dalam keadaan harmonis, tidak tumpang tindih antara wilayah perempuan dan laki-laki. Dalam al-Qur'aan disebutkan bahwa Allah akan
mengganjar dengan adil bagi siapa saja yang melakukan amal baik dan disertai keimanan. Pergolakan yang terjadi di tengah masyarakat yang terus menyoal siapa yang pantas jadi pemimpin, apa perempuan boleh jadi pemimpin, merupakan sebuah ketakutan yang dibentuk oleh lingkungan, entah ketakutan laki-laki kehilangan harga dirinya sebagai manusia yang terlanjur dicap sebagai pemimpin bagi perempuan.

Sedangkan mbak Yayat mengatkan bahwa tidak ada persoalan antara budaya dengan agama yang mempermasalahkan kepemimpinan. Karena pemimpin diukur dari intelektualitas, kapabilitas seseorang. Bukti dari tidak adanya



persinggungan antara agama dengan budaya adalah catatan sejarah bagaimana Khodijah dan Asiyah pernah menjadi pemimpin dimasanya. Ratu Sima yang memimpin kerajaan di tanah jawa era agama Hindu begitu juga masa Islam di jawa pernah ada ratu yakni ratu Kalinyamat yang sisa kerajaannya bisa di lihat di Jepara. Ratu Kalinyamat adalah seorang perempuan yang pernah menjadi Adipati Demak sekaligus penasehat bagi kerajaan Mataram.

Masyarakat akan menyetujui pemimpin perempuan jika kapabilitasnya telah teruji dan terbukti mampuni bagi mansyarakat. Tinggal kita bagaimana memandang perempuan dan membuat kriteria-kriteria pemimpin.