Wednesday, January 2, 2013

Kriteria Kesahihan Hadist Menurut Imam Bukhari



Hadist merupakan salah satu perkataan atau perbuatan dari nabi Muhammad SAW. Untuk mendapatkan tingkat kebenaran hadist, tentunya harus dilihat dahulu bagaimana kebenaran hadist tersebut saat diriwayatkan, karena bisa jadi orang yang meriwayatkan hadist tersebut mempunyai beberapa kekurangan dalam dirinya, atau bisa dikatakan cacat dalam berbagai aspeknya, baik itu kelakuan orang tersebut, maupun perbuatannya sehari-hari yang tidak baik dapat menghambat hadist-hadist yang ia riwayatkan menjadi tidak shahih.
Menurut kesepakatan para Jumhurul ulama, tingkat kesahihan sebuah hadist dapat dikatagorikan sebagai berikut:  
Sanad bersambung, periwayat bersifat adil, periwayat bersifat Dhabit, dalam hadist tersebut tidak terdapat kejanggalan (Syuzuz) dan tidak terdapat cacat (‘illat)[1].
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh para ulama, sebuah hadist dianggap sahih oleh Imam Bukhari bila dalam persambungan sanad benar-benar ditandai dengan pertemuan langsung  antara guru dan murid atau minimal ditandai dengan hidupnya antara guru dan murid dalam satu masa[2]. Dari hasil penelitian hadist yang dilakukan oleh 2 orang ulama yang hidup pada abad 6 hijriah, yang bernama Hazami dan Maqsidi, tentang kriteria keshahihan hadist menurut Imam Bukhari telah disimpulkan bahwasanya ia hanya menuliskan hadist dari periwayatan kelompok tingkat pertama daan sedikit dari tingkat kedua, yaitu yang memiliki sifat adil, kuat hafalan, teliti, jujur, serta lama dalam berguru. Kesimpulan tersebut diperoleh dari penelitian terhadap murid-murid al-zuhri, bahwa murid al-zuhri dapat dibagi menjadi 5 tingkatan.

Tingkatan pertama ialah: mereka yang memiliki sifat adil, kuat hafalan, teliti, jujur, dan lam aberguru pada al-Zuhri
Tingkatan kedua ialah: mereka yang mempunyai sifat yang sam adengan yang pertama tetapi tidak lama berguru pada al-Zuhri.
Tingkatan ketiga ialah: mereka yang berada di bawah tingkatan kedua.
Tingkatan keempat dan ke Lima ialah: mereka yang majruh dan lemah[3].             
Dari uraian diatas sekiranya dapat difahami bahwasanya kriteria hadist shahih menurut Imam Bukhari adalah:  
Dalam hal persambungan sanad, ia menekankan adanya infrmasi positif tentang periwayat bahwa mereka benar-benar bertemu atau minimal satu zaman dan hal sifat atau tingkatan dan periwayat, ia menekankan adanya kriteria yang paling tinggi.    



[1] Mahmud Al-Tahhan, Usul al-Tahrij wa Dirasat al-Asanid (ttp: al Maktabah al Arabiyah,1978), hal. 148. Dapat ditemukan juga dalam ‘ali ‘abdullah al-Madini, al-Ilal al Hadist wa Ma’rifah ar-Rijal (ttp: Dar al-Hallab), hal. 9. 
[2] Menurut berbagai pendapat para ulama, hal ini dijelaskan karena dalam kitab Imam Bukhari sendiri tidak menyebutkan secara konkrit tentang bagaimana cirri-ciri kriteria hadist yang sahih.  
[3] Ibnu Hajar al-Asqalani, Hady al-syari’, Jilid I (Kairo: 1973), hal. 6.

Kitab Shahih Bukhari Karya Imam Bukhari (Penjelasan Singkat)



 Setelah kita menjelaskan tentang biografi Imam bukhari pada pembahasan sebelumnya, maka jelas bahwasanya Imam bukhari merupakan salah satu ulama yang paling banyak meriwayatkan hadist-hadist yang mempunyai tingkat “shahih” paling banyak dibandingkan kitab-kitab lainnya. Imam Bukhari telah menghasilkan kitab yang diberi nama kitab “shahih-Bukhari”.
Pada awalnya, nama kitab tersebut ialah: Al-jami’ Al musnad As-shahih Al-mukhtasar min Umuru rasulullah SAW wa Sunanih wa Ayyamih. Nama tersebut dihasilkan karena sesungguhnya guru dari Imam Bukhari berwasiat bahwasanya: “hendaklah kamu menyusun sebuah kitab yang khusus berisi sunnah rasul yang shahih”[1].            
Menurut salah satu ulama, Muhammad ajjaj al-khatib, yang diberi nama judul kitab “al-jami’ ”diatas bahwasanya dalam kitab tersebut berisi kumpulan-kumpulan hadist-hadist tentang hukum, keutamaan amal, tata pergaulan, sejarah, maupun kabar-kabar yang akan datang. Sedangkan kata “ Al-musnad ” mempunyai arti bahwasanya Imam Bukhari hanya memasukkan hadist-hadis yang sanadnya bersambung hingga rasulullah SAW. Sedangkan kata “As-shahih” mempunyai pengertian bahwasanya dalam kitab tersebut tidak dimasukkan hadist-hadist yang dhaif[2].  




[1] Muhammad abu syuhbah, Fi rihab Al sunnah Al kuttub Al sihhah As-sittah (ttp: Majma Al-buhus Al-islamiyah, 1969), 57.
[2] Muhammad ‘Ajaj Al-khatib, Usul Al-hadis ‘Ululuhu wa Musthalahu (Damaskus: Dar-Fikr, 1975). Hlm. 313.