HADIS LARANGAN LUKISAN DAN PATUNG
Pendahuluan
Meneliti kebenaran suatu berita, merupakan bagian dari upaya membenarkan yang benar dan membatalkan yang batil. Kaum muslim sangat besar perhatiannya dalam segi ini, baik untuk penetapan suatu pengetahuan atau pengambilan suatu dalil. Terlebih jika hal itu berkaitan dengan riwayat hidup Nabi mereka atau ucapan dan perbuatan yang dinisbahkan kepada beliau.Hal ini merupakan langkah pertama dan upaya realistis yang harus dilakukan sebelum melakukan pemahaman dan kajian lebih lanjut.
Adalah kewajiban kaum muslim untuk memahami hadits dengan semua ciri khas dan karekteristik yang komprehensif, saling melengkapi, seimbang dan penuh kemudahan. Kaum muslim juga harus memperhatikan dan berusaha memahami hadits Nabi dengan sebaik-baiknya dan berinteraksi dengannya dalam aspek hukum dan moral. Artinya, dalam pemahaman terhadap hadits, kontak dialogis antara nash dengan setting sosial budaya ketika hadits itu muncul harus dipahami. Langkah selanjutnya adalah bagaimana kita dapat mengkontekstualisasikannya pada masa kontemporer ini.
Hadits tentang lukisan dan patung merupakan salah satu diskursus yang belum dapat dikatakan berkesudahan. Pemahaman tentang teks hadits sering kali dicukupkan pada kritik sanad dan sedikit pemahaman kebahasaan. Kenyataan semacam ini menyebabkan kesimpulan yang dirasa sangat terburu-buru. Pemahaman konteks yang melingkupi sejarah munculnya hadits sering diabaikan. Sehingga aktualisasi hadits menjadi hal yang mustahil dilakukan.
Menyadari hal tersebut, penulis mencoba untuk menuangkan sedikit gagasan dan pengetahuan dalam upaya pemahaman hadits lukisan dan patung melalui pendekatan sosio-historis. Tulisan ini diharapkan dapat memberikan gagasan baru yang lebih komprehensif dalam pemahaman hadits tentang lukisan dan patung sehingga dapat diaplikasikan pada kehidupan sehari-hari.
A. Redaksi Hadis Seputar Larangan Lukisan dan Patung
حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ مُسْلِمٍ قَالَ كُنَّا مَعَ مَسْرُوقٍ فِي دَارِ يَسَارِ بْنِ نُمَيْرٍ فَرَأَى فِي صُفَّتِهِ تَمَاثِيلَ فَقَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ
Telah menceritakan kepada kita Humaidi telah menceritakan kepada kita al-A’masy dari muslim berkata: “Aku suatu ketika berada bersama Masruq di rumah Yasar bin Numair, maka Masruq melihat di serambi rumah beberapa buah patung, lalu Masruq berkata:”Aku mendengar dari Abdullah sabda nabi kepadanya: “Bahwa sesungguhnya manusia yang paling keras diadzab pada hari kiamat ialah pembuat sesuatu rupa.”
Setelah ditelusuri melalui CD Mausu’ah al Hadis al Syarif, maka hadis di atas juga dapat dijumpai dalam kitab Shahih Muslim no. 3943, 3944, Sunan an Nasa’i no. 5269, dan Musnad Ahmad bin Hanbal no. 3377 dan 3845. Jalur periwatan hadis diatas bersambung dan kualitas para perawi adalah shahih.
B. Kondisi Islam Arab,sebuah perjumpaan
Sebelum Islam datang, bangsa Arab telah menganut agama yang mengakui Allah sebagai Tuhan mereka. Kepercayaan ini diwarisi turun-menurun sejak nabi Ibrahim dan Ismail. Al-Qur’an menyebutnya dengan Hanif, yaitu kepercayaan yang mengakui ke-Esaan Allah sebagai pencipta alam, Tuhan menghidupkan dan mematikan, Tuhan yang member rizki dan sebagainya. Kepercayaan terhadap Allah tersebut tetap diyakini oleh bangsa Arab samapai kerasulan Muhammad SAW. Hanya saja keyakinan itu dicampuradukan dengan tahayyul dan kemusyrikan, menyekutukan Tuhan dengan sesuatu dalam penyembaan kepada-Nya, seperti jin, roh, hantu, bulan, matahari, tumbuh-tumbuhan, berhala dan sebagainya. Kepercayaan yang menyimpang dari agama Hanif itu disebut agama Watsaniyah.
Watsaniyah, yaitu agama yang memperserikatkan Allah dengan mengadakan penyembahan kepada: Aushab (batu yang belum memiliki bentuk), Autsan (patung yang dibuat dari batu) dan Ashaam (patung yang terbuat dari kayu, emas, perak, logam dan semua patung yang tidak terbuat dari batu). Penyimpangan itu terjadi perlahan-lahan. Mereka menyatakan berhala-berhala itu sebagai perantara terhadap Allah. Allah tetap diyakini sebagai yang Maha Agung. Tetapi antara Tuhan dan makhlukNya dirasakan ada jarak yang mengantarinya. Berhala-berhala berlambang malaikat, putara-putra Tuhan. Berhala menjadi kiblat atau penentu arah dalam penyembahan dan peribadatan. Berhala diyakini sebagai tempat bersemayamnya roh nenek moyang mereka yang harus dihormati dan dipuja. Demikian juga diantara mereka ada yang mempertuhankan binatang-binatang dan tumbuh-tumbuhan sebagai anasir yang memberi pengaruh terhadap alam semesta dan kehidupan manusia.
Kondisi semacam ini terus berlangsung dan berkelanjutan hingga kehadiran Muhammad putra Abdullah. Nabi yang dijanjikan tersebut datang untuk membersihkan syirik yang telah mengakar pada keyakinan mereka dan mengembalikannya kepada garis tauhid. Kerasulan Muhammad SAW dengan misi tauhid tersebut harus dihadapkan pada kondisi masyarakat Arab yang telah kental dengan berhala, patung, lukisan dan segala macam objek ritual-relegious dengan wajah syirik dan penyimpangan. Beberapa masyarakat Arab telah mahir melukis, memahat dan segala macam usaha demi menciptakan sesembahan yang diinginkan. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang menjadikannya sebagai punggung pendapatan sehari-hari mengingat banyaknya order dari para masyarakat. Sebuah cerita menggelitik datang dari al-Qurthubi bahwa ia menceritakan:
وَذَكَرَ الْقُرْطُبِيّ أَنَّ أَهْل الْجَاهِلِيَّة كَانُوا يَعْمَلُونَ الْأَصْنَام مِنْ كُلّ شَيْء حَتَّى أَنَّ بَعْضهمْ عَمِلَ صَنَمه مِنْ عَجْوَة ثُمَّ جَاعَ فَأَكَلَهُ.
“ al-Qurthubi menyebutkan bahwa sesungguhnya orang jahiliyyah adalah mereka yang membuat berhala-berhala, bahkan sebagaian dari mereka membuat berhalanya dari roti kemudian ketika ia lapar maka ia memakannya”.
Tampak bahwa masyarakat arab pada waktu itu sedang terjangkit virus syirik yang telah melembaga dan membudaya. Nabi, dengan inspirasi wahyu mencoba dan berusaha menjauhkan mereka dari kegiatan keji tak berdasar itu. Bukan hal yang mudah memang, akan tetapi sedikit demi sedikit orang-orang “lulusan” syirik arab mulai menerima ajakan adan ajaran Muhammad SAW. Ajaran tauhid yang menetapkan ke-Esaan Allah tidak serta merta mereka pahami dan yakini. Terlebih, banyak diantara musyrik arab yang terus melanjutkan peninggalan nenek moyang itu. Sebagai Nabi, merupakan tugas utama bahkan sebuah kewajiban untuk menghindarkan umatnya dari belenggu penyimpangan dan keingkaran. Perjumpaan seperti inilah yang terjadi diantara Nabi, umat muslim, dan para musyrik arab.
C. Urgentisitas pelarangan pembuatan lukisan dan patung
Hadis yang menyebutkan bahwa “sesungguhnya manusia yang paling keras diadzab pada hari kiamat ialah pembuat sesuatu rupa” dan beberapa hadis lain yang menyebutkan larangan melukis, secara redaksional menegaskan larangan berbagai bentuk lukisan dan seni pahat (patung). Jika kita terburu-buru dan hanya memaknai hadis tersebut secara tekstual, maka larangan lukisan dan patung akan menjadi sebuah keharaman mutlak yang berlaku kapan dan dimanapun itu. Akan tetapi, untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komperhnensif alangkah baiknya jika kita menelisik kembali sejarah dan dalam konteks bagaimana hadis itu disabdakan.
Beranjak dari setting sosio-historis masyarakat arab pada waktu itu, ternyata umat Islam belum lama sembuh dari penyakit-penyakit syirik yakni menyekutukan Allah dengan menyembah berhala, patung dan sebagainya. Dalam kapasitasnya sebagai rasul. Nabi SAW berusaha keras agar masyarakat umat Islam waktu itu benar-benar sembuh dari kemusyrikan tersebut. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan mengeluarkan fatwa larangan melukis, memproduksi, atau memajang lukisan atau berhala (patung). Bahkan disertai dengan ancaman yang sangat keras. Imam al-Thabari mengatakan: yang dimaksud dengan lukisan (patung) pada hadis ini adalah segala sesuatu yang diciptakan untuk disembah. Dengan demikian, larangan adanya lukisan atau patung tidak terlepas dari wujud penghambaan dan pengkultusan terhadapnya. Meski umat Islam telah menadapkan ajaran tauhid, Nabi tetap merasa khawatir terhadap umatnya jika dibiarkan membuat dan memampang patung. kondisi semacam ini sesuai dengan sabab wurud hadis ini.
Tentu, konsekuensinya adalah adanya perhatian khusus dari Nabi tentang masalah lukisan dan patung. Tidak semua lukisan pastinya, perhatian Nabi terhadap larangan melukis atau memahat patung terfokuskan pada pola-pola yang berpotensi dijadikan sesembahan. Oleh karena itu, dalam hadis lain disebutkan:
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْمُنْذِرِ حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ عِيَاضٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الَّذِينَ يَصْنَعُونَ هَذِهِ الصُّوَرَ يُعَذَّبُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُقَالُ لَهُمْ أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ
Dalam memahami hadis diatas, Ibnu Abbas berkata: “gambar atau patung yang termasuk dilarang terkhususkan pada gambar-gambar yang seakan mempunyai ruh, maka tidak dilarang untuk gambar-gambar yang tidak mempunyai ruh seperti pepohonan.” Selain itu, bentuk ataupun posisi gambar yang memungkinkan untuk dijadikan sesembahan juga tidak luput dari perhatian nabi. Nabi melarang gambar-gambar terpampang berdiri yang memberikan kesempatan untuk memuja. Dijelaskan pada hadis riwayat ‘Aisyah:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الْقَاسِمِ وَمَا بِالْمَدِينَةِ يَوْمَئِذٍ أَفْضَلُ مِنْهُ قَالَ سَمِعْتُ أَبِي قَالَ سَمِعْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ سَفَرٍ وَقَدْ سَتَرْتُ بِقِرَامٍ لِي عَلَى سَهْوَةٍ لِي فِيهَا تَمَاثِيلُ فَلَمَّا رَآهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَتَكَهُ وَقَالَ أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُضَاهُونَ بِخَلْقِ اللَّهِ قَالَتْ فَجَعَلْنَاهُ وِسَادَةً أَوْ وِسَادَتَيْنِ
Sekali lagi, rangkaian hadis ini menegaskan bahwa salah satu alasan dilarangnya gambar dan patung adalah antisipasi nabi terhadap umat agar tidak terjangkit virus lama yaitu syirik. Pemahaman seperti ini juga ditegaskan oleh Abu Ali al-Farisi dalam kitabnya al-Tadzkirah, bahwa pelukis (pembuat patung) yang diancam oleh Nabi adalah orang-orang yang meyakini bahwa Allah mempunyai bentuk ( يعتقدون أن لله صورة). Kemudian, alasan siksaan yang begitu besar bagi pelukis atau pembuat patung menurut al-Khattabi adalah, bahwa patung yang dibuat dijadikan Tuhan yang disembah selain Allah.
Selain problem syirik, larangan gambar dan patung juga mempunyai hubungan yang erat dengan kondisi muslim disaat melaksanakan ritul-relegious, seperti shalat dan sebagainya. Tidak dapat dipungkiri, sebuah gambar ataupun patung mempunyai daya tarik tersendiri bagi pandangan. Nilai estetika yang terkandung, terkadang mengganggu kesakralan peribadatan. Maka, merupakan sebuah keniscayaan jika Nabi memerintahkan agar gambar ataupun patung segera disingkirkan ketika beliau melaksanakan shalat. Dalam hadis dijelaskan:
حَدَّثَنَا عِمْرَانُ بْنُ مَيْسَرَةَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ صُهَيْبٍ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ قِرَامٌ لِعَائِشَةَ سَتَرَتْ بِهِ جَانِبَ بَيْتِهَا فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمِيطِي عَنِّي فَإِنَّهُ لَا تَزَالُ تَصَاوِيرُهُ تَعْرِضُ لِي فِي صَلَاتِي
Jika demikian, maka larangan lukisan atau patung pada saat itu sangatlah dibutuhkan bahkan merupakan suatu belunder jika umat tidak disabdakan demikian. Persoalannya, jika kondisi masyarakat sudah berubah, dimana masyarakat sudah mencapai pada pemikiran posifistik- meminjam istilah Agust Comte- yang kemungkinan besar tidak lagi dikhawatirkan terjerumus dalam penyembahan terhadap lukisan dan patung. apakah kemudian membuat dan memajang lukisan masih tetap dilarang? Hemat penulis, sebagaimana tujuan pelarangan, maka larangan tersebut hanya bersifat sad al-Dzari’ah (langkah antisipatif) agar masyarakat tidak kembali terprosok kepada kemusyrikan, terutama terhadap lukisan dan patung. sedang untuk zaman sekarang, tampaknya kurang relevan lagi untuk melarang seseorang melukis, berkreasi seni sebab hal itu merupakan hasil ekspresi kejiwaan seorang palukis tanpa bermaksud mempertuhankannya. Akan tetapi, jika dibenak pelukis terdapat secuil niat untuk menjadikannya sesembahan maka hukum asal tetap berlaku baginya.
D. Resepsi Masyarakat terhadap hadis
Masyarakat kita berbeda-beda dalam menanggapi hadis seputar larangan lukisan dan patung. Mereka memiliki pemahaman dan argumenti masing-masing. Kelompok pertama, melarang keras segala rupa patung dan gambar dengan alasan patung dan gambar dapat menjadi sarana kesyirikan, karena awal mula dari kesyirikan dan kekufuran adalah adanya pemujaan terhadap patung dan berhala. Selain itu terdapat hadis yang menyatakan dengan jelas larangan menciptakan sesuatu yang menyerupai ciptaan Allah. Kelompok kedua, membolehkan pembuatan lukisan dan patung karena di masa sekarang, dimana tauhid telah melekat dalam jiwa umat Islam dan tidak dikhawatirkan lagi terjadi syirik disebabkan patung-patung tersebut. Kelompok ketiga, membolehkan patung dan lukisan hanya pada benda-benda tertentu. Yaitu, pada makhluk yang tidak bernyawa atau pada makhluk bernyawa yang tidak disempurnakan bentuknya.
E. Respon Muslim Indonesia terhadap Larangan Lukisan dan Patung
Sebelum Islam datang ke wilayah Indonesia, masyarakat kita pun telah mempercayai adanya kekuatan “di luar” kekuatan manusia. Kepercayaan mereka dikenal dengan sebutan Animisme (kepercayaan terhadap ruh-ruh yang memiliki kekuatan gaib) dan Dinamisme (kepercayaan terhadap benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan karena ditempati atau merupakan perwujudan dari ruh). Ruh-ruh tersebut dapat melekat pada benda-benda alam seperti batu-batu besar, pohon, danau, dan lain sebagainya. Agar ruh-ruh tersebut dapat memberikan berkah serta kesejahteraan bagi manusia, memberikan kesuburan tanah untuk bercocok tanam, dan berkembangnya hewan-hewan ternak mereka, maka diadakan upacara-upacara khusus disertai dengan sesaji. Hal ini bisa dilihat dengan adanya bangunan-bangunan batu besar di masyarakat sekitar kita. Bangunan tersebut digunakan sebagai sarana penghormatan dan pemujaan terhadap arwah nenek moyang.
Upacara pemujaan ini masih tetap berlangsung sampai akhirnya Islam tersebar di nusantara. Namun, budaya masyarakat yang telah melekat sedemikian lama tentu tidak serta merta bisa dihapuskan begitu saja. Karena Islam datang dengan kedamaian, budaya masyaraat kita tidak seluruhnya dihapuskan oleh para ulama’ yang menyebarkan agama melainkan diimbangi dengan ritual-ritual islami. Dengan harapan, agar masyarakat lebih cepat menerima ajaran Islam. Salah satu contohnya adalah wayang yang dibawa oleh Sunan Kalijaga. karena pada waktu itu masyarakat masih mengagumi patung-patung, maka Sunan Kalijaga menjadikan wayang sebagi media dakwah Islam. Dan keberhasilan beliau terbukti dengan tersebar luasnya Islam di tanah Jawa.
Sunan Kalijaga bukanlah satu-satunya muslim Indonesia yang mencoba memahami Islam khususnya hadis dan berdakwa sesuai kultur sosio-historis masyarakat Indonesia. Dengan menanamkan nilai-nilai Islam terhadap budaya yang telah ada, wayang Sunan Kalijaga mampu membuat nuansa Islam sebagai agama yang menarik, mudah dicerna, dan menjadi rahmatan li al-Alamin khususnya Indonesia. Seharusnya, bagi generasi setelahnya, melanjutkan dakwah seperti itulah yang harus terus dilaksanakan.
F. Kesimpulan
Dengan menggunakan pendekatan sosio-historis, paling tidak hadis tentang ancaman larangan bagi pelukis dan lukisan (pemahat dan patung) mempunyai beberapa poin penting yang harus diperhatikan, diantaranya:
1. Dalam konteks umat Islam saat itu, sabda Nabi tersebut merupakan sebuah hal yang mendesak dan mempunyai tujuan yang sangat penting, yaitu antisipasi nabi terhadap umat agar tidak kembali kepada kesyirikan khususnya menyembah lukisan dan patung.
2. untuk zaman sekarang, tampaknya kurang relevan lagi untuk melarang seseorang melukis, berkreasi seni sebab hal itu merupakan hasil ekspresi kejiwaan seorang palukis tanpa bermaksud mempertuhankannya. Akan tetapi, jika dibenak pelukis terdapat secuil niat untuk menjadikannya sesembahan maka hukum asal tetap berlaku baginya.
3. Bagi Muslim Indonesia, pemaknaan secara kontekstual, sebagaimana yang telah dilakukan Wali Songo harus dilanjutkan. Jika seni lukis dan seni pahat (patung) dapat dijadikan media dakwah atau minimal tidak mengantarkan pada kesyirikan, maka tidak ada salahnya mengekspresikan kesenian tersebut ditengah muslim Indonesia.
Daftar Pustaka
Ash Shiddieqy, T.M. Hasbi. Koleksi Hadis-Hadis Hukum. Bandung: al Ma’arif, 1976.
al-Husaini, Ibnu Hamzah al-Dimsyaqi. al-Bayan wa al-Ta’rif fi Asbab Wurud al-Hadis al-Syarif. Beirut: al-Maktabah al-Ilmiyyah, tt.
Wargadinata, Wildana dan Laily Fitriani. Sastra Arab dan Lintas Budaya. Malang: UIN Malang Press, 2008.
Bukhari, Imam. Shahih Bukhari CD ROM Mausu’ah al Hadis al Syarif Global Islamic Software.
Al-Asqalany, Ibnu Hajar. Fathu al-Bary fi Syarh Shahih Bukhari CD ROM al-Maktabah al-Syamilah.
Muhammad Abdurrahman bin Abdirrahim, Tuhfadh al-Afwadzi bi Syarkh Jami’at al-Tirmidzi, CD RoM al-Maktabah al-Syamilah.
al-Ghazali, Muhammad. al-Sunnah al-Nabawiyah baina Ahli al-Fiqh wa ahli al-Hadits, terj. Muhammad al-Baqir. Studi Kritis Atas Hadits Nabi SAW. Bandung: Mizan. 1994. hlm.
Qaradhawi, Yusuf. Kaifa Nata’ammal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah. tej. Muhammad al-Baqir. Bagaimana Memahami Hadits NabiSAW. Bandung: Karisma. 1993. hlm.
Zuhri, Muhammad. Tela’ah Matan Hadits.Yogyakarta: LESFI. 2003.
artikel yg cukup menarik...mohon ijin copas...!
ReplyDeletemonggo di copy.. sekalian bisa menambah wawasan kita semua ya..
ReplyDelete