Perempuan seolah takkan
pernah berhenti untuk dibicarakan, diselami dunianya, baik yang bersifat
lahiriahnya: kecantikan maupun gaya hidup mulai dari tidur hingga bangunnya
terus dikuak, maupun yang bersifat batiniah, jiwanya: olah rasa atau hal
lainnya.
Perempuan seolah takkan
pernah berhenti untuk dibicarakan, diselami dunianya, baik yang bersifat
lahiriahnya: kecantikan maupun gaya hidup mulai dari tidur hingga bangunnya
terus dikuak, maupun yang bersifat batiniah, jiwanya: olah rasa atau hal
lainnya.
Perempuan memang
asyik untuk dikaji. Makhluk Tuhan yang satu ini seolah harta atau khazanah yang
mengundang decak kagum maupun sunggingan bibir yang mencoba mencemoohnya. Entah
itu perempuan sendiri, lebih-lebih pria takkan luput untuk trambul ngomong,
entah paham betul atau hanya waton ngomong, yang penting ngomong perempuan.
Meskipun tak jelas apa yang diomongkan.
Keberadaan perempuan
diomongkan secara silih berganti diberbagi tempat: mulai di tempat tidur,
angkrinngan hingga di media massa. Bahkan tak tanggung-tanggung diadakan
seminar pula. Di undanglah orang yang dianggap kompeten dalam masalah
kewanitaan, maaf kewanitaan disini tidak mengarah pada masalh biologisnya
melainkan ya biologis, sosiologis, psikologis maupun hal yang logis-logis
lainnya. Dari itu semuanya itu hanya mengarah pada satu titik: sipa perempuan
itu, bagaimana hakikatnya, apa dia boleh berbuat ini –itu, ataukah ia
sekedar pelengkap, hiasan
dunia fana ini?.
Asyik betul membicarakan masalah ini hingga tak sadar gelora jiwa membara,
larut sekaligus lenyap siapa kita, perempuankah atau laki-laki. Semua tak sadar
kerena tengah asyik untuk berada di wilayah yang unik ini.
Begitu pula yang dilakukan
oleh divisi keagamaan BEM Pendidikan Kimia, ingin turut serta mewarnai
perbincangan tentang sosok perempuan tersebut. Bertempat di teatrikal fakultas
saintek UIN Yogyakarta, 10 September 2009, dimulai. Dengan menghadirkan
pembicara dekan fakultas SAINTEK, Dra. Meizer Said Nahdli, M. Si, dan aktivis
perempuan,
Yaya Setianingsih, S.H.I atu lebih
akrab di panggil mbak Yayat.
Tema yang diangkat
pada seminar ini adalah masalah kepemimpinan seorang perempuan jika dilihat
dari ranah agama dan kebudayaan. Berhubungan dengan kacamata Islam tentunya
mempertanyakan bagaimana Islam memandang perempuan tersebut, hakikat dan syarat
bagi pemimpin yang kesemuannya ini sudah tentu harus ada kesesuaian dari sumber
pokok Islam: al-Qur'an dan al-Hadist. Sedangkan budaya melihat dari sisi
bagaimana kebudayaan setempat menempatkan sosok perempuan ditengah pusaran
peradabannya, apa itu perempuan ( apakah keeksisitensiannya terbentuk karena
faktor biologis, fisik, ataukah nama perempuan itu terbentuk karena pergumulan
budaya?). Sejenak jika kita lihat, sebetulnya tema yang diusung pada seminar
ini bisa dikatakatkan sudah usang tetapi kita tidak memandang usang atau aktual
permasalahan itu muncul tetapi bagaimana permasalahan itu terus berkembang dan
terus melahirkan polemik di tengah masyarakat.
Terbukti masalah
kepemimpinan selalu hangat dibicarakan apalagi kepemimpinan yang dikomandani
sesosok perempuan: heboh tentunya. Hal ini bukan karena sosok perempuan tidak
mampu mengemban amanah kepemimpinan melainkan karena faktor telah lamanya
tonggak kepemimpinan dipegang dan dkendalikan oleh laki-laki sehingga kedaan
ini melahirkan suatu sikap yang menghegemoni pikiran masyarakat atau dengan
kata lain masyarakat akan selalu "mengamini" kepemimpinan laki-laki
bila dibanding pemimpin perempuan. Ranah agama pun seolah-olah mengamini
kepemimpinan laki-laki. Sebuah bunyi hadis selalu dijadikan jargon bahwa
kepemimpinan perempuan takkan menghasilkan apa-apa kecuali kemudhorotan.
Menurut Dra. Meizer
Said Nahdli, M.Si, permasalahan siapa yang cocok menjadi pemimpin, laki-laki
atau perempuan sebetulnya lahir karena faktor budaya sedangkan budaya itu
sendiri terbentuk karena adanya interkasi cipta, rasa dan karsa antar manusia.
Sehingga tak dipungkiri permasalahan kepemimpinan, siapa yang pantas memimpin
tergantung tingkat intelektualitas, dan penghormatan masyarkat setempat
terhadap perempuan.
Meskipun secara
biologis, dekan sekaligus dosen biologi fakultas SAINTEK ini melanjutkan, perbedaan
antar laki-laki dan perempuan ada. Sebagi contohnya tulang laki-laki massanya
lebih berat dibandingkan perempuan tetapi itu bukanlah dasar untuk mengangkat
pemimpin. Pemimpin dipilih bukan faktor otot melainkan otak. Islam sendiri juga
tidak membeda-bedakan antara keduanya, Islam adalah agama dengan konsep
keseimbangan kalau pun ada perbedaan
pembagian kerja hanya
semata-mata konsep kesetimbangan untuk menjaga msayarakat agar dalam keadaan
harmonis, tidak tumpang tindih antara wilayah perempuan dan laki-laki. Dalam
al-Qur'aan disebutkan bahwa Allah akan
mengganjar dengan
adil bagi siapa saja yang melakukan amal baik dan disertai keimanan. Pergolakan
yang terjadi di tengah masyarakat yang terus menyoal siapa yang pantas jadi
pemimpin, apa perempuan boleh jadi pemimpin, merupakan sebuah ketakutan yang
dibentuk oleh lingkungan, entah ketakutan laki-laki kehilangan harga dirinya
sebagai manusia yang terlanjur dicap sebagai pemimpin bagi perempuan.
Sedangkan mbak Yayat
mengatkan bahwa tidak ada persoalan antara budaya dengan agama yang
mempermasalahkan kepemimpinan. Karena pemimpin diukur dari intelektualitas,
kapabilitas seseorang. Bukti dari tidak adanya
persinggungan antara
agama dengan budaya adalah catatan sejarah bagaimana Khodijah dan Asiyah pernah
menjadi pemimpin dimasanya. Ratu Sima yang memimpin kerajaan di tanah jawa era
agama Hindu begitu juga masa Islam di jawa pernah ada ratu yakni ratu
Kalinyamat yang sisa kerajaannya bisa di lihat di Jepara. Ratu Kalinyamat adalah
seorang perempuan yang pernah menjadi Adipati Demak sekaligus penasehat bagi
kerajaan Mataram.
Masyarakat akan menyetujui
pemimpin perempuan jika kapabilitasnya telah teruji dan terbukti mampuni bagi
mansyarakat. Tinggal kita bagaimana memandang perempuan dan membuat
kriteria-kriteria pemimpin.
No comments:
Post a Comment