Usianya baru menginjak 19 tahun. Namun, tangan Nisreen Mansour Al
Forgani sudah berlumuran darah, karena pertempuran yang dilakukan demi
Pemimpin Libya Muammar Gaddafi.
Perempuan itu memiliki mata
coklat yang besar. Dengan bibir merekah dan lilitan syal warna merah
muda di kepalanya, Nisreen memang terlihat cantik. Namun, dibalik
kemolekannya, siapa sangka kalau ia ternyata juga anggota pasukan
pembunuh untuk Khadafi.
Minggu (28/8) kemarin, di sebuah kamar
rumah sakit militer di Matiga, Nisreen mengakui bahwa dia seorang
pasukan khusus pembunuh Gaddafi. Gadis yang kaki lebamnya terikat di
tempat tidur ini, mengaku telah mengeksekusi 11 tersangka pemberontak,
ketika mereka sampai di Ibukota Tripoli.
Belasan orang itu
ditembak dalam jarak dekat dengan tangan dingin. Setelah membunuh orang
pertama, orang berikutnya dibawa masuk ke dalam ruangan. Orang kedua
yang melihat jasad orang pertama, syok. “Saat itulah saya menembaknya
juga, dari jarak semeter,” ujarnya tanpa berkedip.
Nisreen adalah
salah satu dari ribuan gadis dan perempuan muda yang direkrut oleh
brigade militan perempuan Gaddafi. Ia kini menjadi tawanan pemberontak
dan mengkhawatirkan nyawanya. Banyak orang prihatin, meski ia membunuh
belasan pemberontak.
Nisreen mengklaim, dokter dan sejumlah
pemberontak percaya kisahnya. Bahwa ia mengeksekusi pemberontak juga
dalam tekanan. Ia juga menyatakan dilecehkan secara seksual oleh tokoh
militer senior, salah satunya adalah pemimpin brigade militan perempuan.
“Saya
sudah mengungkapkan (kepada para pemberontak) apa yang saya lakukan.
Mereka marah. Saya tak tahu apa yang akan terjadi,” lanjutnya, dengan
tatapan tanpa ekspresi.
Anda mungkin heran, bagaimana bisa remaja
sepertinya sudah bermain-main dengan darah. Nisreen tadinya hidup
bahagia dengan sang ibu di Tripoli. Ia suka musik dan menikmati
berdansa. Keluarganya bukan pendukung rezim Khadafi, meski mereka tetap
hidup dengan tenang.
Saat kecil, orangtuanya berpisah dan Nisreen
memutuskan tinggal dengan sang ibu karena ia tak menyukai ibu tirinya.
Salah seorang kawan ibunya, perempuan bernama Fatma Al Dreby, adalah
pemimpin brigade militan perempuan di salah satu cabang.
Di
sinilah nasib Nisreen berubah. Tahun lalu, gadis ini berhenti kuliah
untuk merawat ibunya yang sakit karena mengidap kanker. Fatma melihatnya
sebagai kesempatan dan merekrut Nisreen untuk bergabung dengan
brigadenya.
Keluarga Nisreen protes, tapi Fatma tak bergeming.
Nisreen yang muda dan cantik memenuhi kriteria brigade tersebut.
Terdapat seribu gadis dari seluruh Libya dan ia kebagian latihan di kamp
Tripoli. “Saya bersama kawan kuliah saya dulu, seorang gadis bernama
Faten.”
Ketika pemberontakan Libya dimulai, mereka ditugaskan
menjaga titik-titik penjagaan di berbagai penjuru ibukota. Nisreen hanya
sekali melihat Gaddafi, saat konvoinya melintasi titik yang ia jaga.
Nisreen amat takut pada Fatma, yang mengancam akan membunuh jika
keluarganya menentang Gaddafi.
Satu hari, Fatma memanggilnya ke
sebuah ruangan dan di tempat itulah komandan brigadenya, Mansour Dou,
memperkosa Nisreen. Fatma kembali mengancam agar Nisreen tutup mulut.
Pemerkosaan ini berlanjut ke putra Mansour dan petinggi militer bernama
Noury Saad.
Semua gadis yang ia kenal mengalami nasib serupa.
Termasuk kawannya, Faten, yang tewas ditembak oleh pengawal Saif Al
Islam, karena terlalu dekat dengan iring-iringan konvoi. Tak lama
setelah itu, Tripoli diserbu dan peran Nisreen berubah menjadi
eksekutor.
“Jika saya tak menembak mereka, saya yang akan
dibunuh. Mereka babak belur, beberapa dipukuli di hadapan saya. Saya tak
ingat wajah mereka, tapi hampir semuanya seusia saya,” ujar Nisreen
sambil menangis. Dalam tiga hari sebelum tertangkap pemberontak, ia
menembak mati 11 orang.
I don't know what the article is saying, but the real story can be found here:http://libyasos.blogspot.fr/2011/09/case-of-nisreen-mansour-before-and.html
ReplyDeleteI'm sorry, maybe there are other versions that say about such things, I am typing on what I know ....
Delete