Thursday, December 8, 2011

politik perempuan dalam tafsir mau'dui

HAK POLITIK PEREMPUAN PERSPEKTIF ISLAM:

KAJIAN TAFSIR MAWDÛ`Î

 

Penelitian ini berjudul Hak Politik Perempuan Perspektif Islam dalam kajian Tafsir Mawdû`î, Sementara ini, pandangan yang berkembang dalam masyarakat, masih terjadi dua kutub yang berseberangan.  Satu pandangan menyatakan perempuan harus di dalam rumah, mengabdi kepada suami, dan hanya mempunyai peran domestik dan tidak boleh berpolitik. Pandangan lain menyatakan perempuan mempunyai kemerdekaan untuk berperan, baik di dalam maupun di luar rumah demikian juga dalam bidang politik. Hal tersebut terjadi karena belum difahaminya konsep tentang hak politik perempuan secara murni, juga karena dalam memahami teks ayat al-Qur`an masih bias jender.

Perbedaan pandangan tersebut terkait dengan perbedaan dalam memahami sumber-sumber ajaran Islam  terutama ayat al-Qur`an yang berbicara tentang politik.

            Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan dan memberi kejelasan bagaimana sebenarnya hak politik perempuan dalam Islam dengan kajian Tafsir Mawdû`î, diharapkan masyarakat akan memahami dan tidak menganggap tabu terhadap perempuan yang terjun di dunia politik.
Langkah-langkah yang ditempuh dalam penelitian ini, sesuai dengan metode mawdû`î yang banyak digunakan penulis, diawali dengan melakukan identifikasi dan klasifikasi ayat-ayat tentang politik dalam al-Qur`an, kemudian dilakukan analisis mendalam terhadap ayat yang berhubungan dengan politik tersebut dengan disempurnakan dengan hadis-hadis yang berhubungan dengan hak politik  perempuan.
Dari hasil penelitian tersebut, ditemukan bahwa perempuan mempunyai hak dalam berpolitik menurut Islam. Laki-laki dan perempuan berkewajiban untuk amar makrûf nahî munkar melalui beberapa cara termasuk diantaranya dengan media politik
Islam tidak membedakan laki-laki dan perempuan dalam hak-hak individu dan hak-hak kemasyarakatan utamanya hak politik. Namun demikian, yang perlu dicatat adalah bahwa semua hak tersebut harus diletakkan dalam batas-batas kodrati sebagai perempuan.



                                                                                 I
Masalah perempuan tampaknya akan menjadi persoalan yang memerlukan penanganan dalam upaya pencarian solusi bagi keberadaannya. Dalam arti bukan hendak mengubah keberadaan perempuan, melainkan membangun kembali, khususnya berkenaan dengan isu kodrati yang mengakibatkan perempuan semakin terpuruk pada kondisi yang memprihatinkan.
Tidak mustahil apabila ada sebagian kalangan yang menganggap keterlibatan perempuan dalam  aktivitas politik tidak mencerminkan sosok perempuan ideal dalam Islam. Hal itu karena kuatnya asumsi masyarakat tentang pembagian peran perempuan bekerja di rumah dan laki-laki di luar rumah.
Demikian pula, wacana pemimpin perempuan telah memancing polemik dan debat antara pro maupun yang kontra. Hal ini terjadi karena satu sisi ditemukan penafsiran ayat dan hadis yang secara tekstual mengutamakan laki-laki untuk menjadi pemimpin, meskipun sebagian ada yang membolehkannya, di sisi lain ada kenyataan obyektif adanya sejumlah perempuan yang memiliki pengaruh kuat di masyarakat dan mempunyai kemampuan untuk menjadi pemimpin.
  
                                                          II
Mengenai perempuan berpolitik terdapat dua pendapat ada yang melarang dan ada yang membolehkan.
a. Perempuan berpolitik dilarang.
Pendapat yang melarang perempuan berpolitik mengajukan argumentasi sebagai berikut:
  1.Pernyataan al-Qur’an tentang laki-laki menjadi pemimpin atas perempuan, karena  Allah telah melebihkan sebagian laki-laki atas sebagian perempuan (QS. Al-Nisa’/4:34). Laki-laki mempunyai derajat lebih tinggi dari perempuan (QS. Al-Baqarah/2:288). Dan persaksian dua orang perempuan sebagai ganti satu orang laki-laki (QS. Al-Baqarah/2:282).
2. Hadis Nabi menyebutkan ”Tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan suatu urusan kepada perempuan”. (HR. Bukhari). Dan hadis yang menyebutkan orang perempuan kurang akalnya dan kurang agamanya. (HR. Muslim).
3 .Sebagian kitab tafsir telah menjelaskan laki-laki memimpin perempuan, dialah pemimpinnya, pembesarnya, hakimnya, dan pendidiknya, apabila menyimpang, karena laki-laki lebih utama dari perempuan, laki-laki lebih baik dari perempuan. (Tafsir Ibnu Kasîr 1:1:608). Keutamaan laki-laki atas perempuan bermula dari sebab fitrah (asal mula) dan berpuncak pada sebab kasbiah (usaha), Keutamaan (Fadal) laki-laki atas perempuan dalam empat hal: kecerdasan akal (kamâl al-‘Aql), kemampuan manajerial (khusn al-tadbîr), keberanian berpendapat (wazanah al-ra’yi) dan kelebihan kekuatan fisik (mawazidu al-quwah). Oleh karena kenabian (nubuwwah), kepemimpinan (imâmah), kekuasaan (wilayah), persaksian (syahadah) dan jihad dikhususkan laki-laki  (Sofwatul Tafâsîr 1:274).
4. Kitab fiqh menurut Wahbah al-Zuhaili, syarat kepala negara adalah laki-laki, demikian juga Abul al-A’la al-Maududi mengharamkan perempuan duduk dalam seluruh jabatan penting pemerintahan. Lebih-lebih jabatan kepala negara.

b. Bolehnya Perempuan berpolitik
Sedanmgkan pendapat yang membolehkan perempuan berpolitik, argumentasinya sebagai berikut :
   1. Pernyataan al-Qur’an tentang orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong atau ahlinya sebagian yang lain, mereka menyuruh mengerjakan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar (Al-Qur’an surat Al-Tawbah/9:71). Sesungguhnya aku menjumpai seorang perempuan yang memerintah mereka dan dia dianugrahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar (al-Qur’an surat al-Naml/27:23), seorang perempuan adalah Ratu Balqis yang memerintah di negeri Saba’.
2.Hadis “Tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan urusan kepada perempuan” perlu diteliti sanadnya, dan hadis tersebut termasuk hadis ahad. Kalaupun dianggap sahih hendaknya ditempatkan pada konteks pengucapan Nabi yang berkaitan dengan tidak mampunya Buron binti Syiwaraih memimpin kerajaan Persia.

                                                                  III
Lepas dari perbedaan dua pendapat tersebut, di atas, patut dipertanyakan lagi tentang pendapat yang tidak membolehkan perempuan berpolitik, sebab terkesan menganggap perempuan tidak mempunyai kemampuan dalam berpolitik dan menjadi pemimpin atau memegang jabatan, padahal kalau diteliti secara cermat dan seksama dasar dan argumennya kurang akurat.
Pada kesempatan yang berbahagia ini, penulis akan memaparkan beberapa hal, sehingga dapat dipahami secara tepat.
 Pertama tentang  surah al-Nisa’ ayat 34 :
الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض و بما أنفقوا من أموالهم… 

Artinya: “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena itu Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (Perempuan), karena mereka laki-laki telah menafkahkan dari sebagian harta mereka…”

Kata الرجال itu umum, النساء juga kalimat umum, sesuatu yang khusus adalah Allah memberikan keutamaan kepada sebagian mereka.Keutamaan atau tafdil disini yang dimaksud adalah laki-laki kerja dan berusaha di atas bumi untuk mencari penghidupan. Selanjutnya digunakan untuk mencukupi kehidupan perempuan yang di bawah naungannya.( Al-Sya`râwî, Tafsir al-Sya`râwî, 4: 2202).
Dari pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa Qawwâmûn berarti laki-laki sebagai  penjaga, penanggung jawab, pemimpin, pendidik kaum perempuan. Padahal penafsiran yang bercorak demikian pada dasarnya berhubungan dengan situasi sosio-kultural waktu tafsir  dibuat yang sangat merendahkan kedudukan kaum perempuan.
Berbeda dengan mufassir terdahulu, sejumlah pemikir kontemporer berusaha menafsirkan, antara lain:
              Menurut Fazlur Rahman, laki-laki adalah  bertanggung jawab atas perempuan karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain karena mereka (laki-laki) memberi nafkah dari sebagian hartanya, bukanlah hakiki melainkan fungsional, artinya jika seorang isteri di bidang ekonomi dapat berdiri sendiri dan memberikan sumbangan  bagi kepentingan rumah tangganya, maka keunggulan suaminya akan berkurang. (Fazlur Rahman, Mayor Themes of the Quran, terj. Anas Mahyuddin: 72)
              Sedangkan pendapat Aminah Wadud Muhsin, yang sejalan dengan Fazlur Rahman, menyatakan bahwa superioritas itu melekat pada setiap laki-laki qawâmûn atas perempuan, tidak dimaksudkan superior itu secara otomatis melekat pada setiap laki-laki, sebab hal itu hanya terjadi secara fungsional yaitu selama yang bersangkutan memenuhi kriteria Al-Qur’an yaitu memiliki kelebihan dan memberikan nafkah. Ayat tersebut tidak menyebut semua laki-laki otomatis lebih utama daripada perempuan. (Aminah Wadud Muhsin, Quran and Woman: 73).
Demikian juga Ashgar Ali Engineer berpendapat bahwa qawwâmûn  disebutkan sebagai pengakuan bahwa, dalam realitas sejarah kaum perempuan pada masa itu sangat rendah dan pekerjaan domestik dianggap sebagai kewajiban, sementara laki-laki menganggap dirinya unggul, karena kekuasaan dan kemampuan mencari dan memberikannya kepada perempuan. Qawwâmûn merupakan pernyataan kontektual bukan normatif, seandainya al-Qur`an menghendaki laki-laki sebagai qawwâmûn, redaksinya akan menggunakan pernyataan normatif, dan pasti mengikat semua perempuan dan semua keadaan, tetapi al-Qur`an tidak menghendaki seperti itu. (Ashgar Ali Engineer, Hak-hak perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajdi:.179).
              Demikianlah diantara berbagai penafsir yang tekstual dan penafsir kontemporer terhadap surat al-Nisa/4:34. Sehingga kalau dihadapkan dengan realitas yang ada, maka yang terlihat sekarang  posisi kaum laki-laki atas perempuan bersifat relatif tergantung pada kualitas masing-masing individu.
            Kekhususan-kekhususan yang diberikan kepada laki-laki tersebut dalam kapasitasnya sebagai anggota masyarakat yang memiliki peran publik dan sosial lebih, ketika ayat-ayat tersebut diturunkan.
            Dalam surat lain disebutkan, yaitu surat  Al-Baqarah/2: 228 :
   … وللرجال عليهن درجة…
“…Dan bagi laki-laki (suami) mempunyai satu kelebihan derajat dari perempuan (isterinya)…”
Derajat laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Ayat ini berhubungan dengan masalah  talak, karena laki-laki berhak menentukan talak, meskipun perempuan juga mempunyai hak, bukan masalah politik dan kepemimpinan.
Disamping itu kata الرجال pada ayat tersebut menurut Nasaruddin Umar ialah “Laki-laki tertentu yang mempunyai kapasitas tertentu, karena tidak semua laki-laki mempunyai tingkatan lebih tinggi daripada perempuan. Tuhan tidak mengatakan وللذكر بالمعروف عليهن درجة, karena jika demikian, maka secara alami semua laki-laki mempunyai tingkatan lebih tinggi daripada perempuan.” (Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur`ân: 149-150).
Sementara menurut Ibn `Usfûr, para ulama membolehkan kata ال dalam الرجال menjadi نعت   atau    بيانkalau  ال menjadi بيان berarti لتعريف الحضور menunjukkan yang datang, bukan jenis, kalau ال menjadi  نعت  berarti   للعهد menunjukkan pembatasan. (Jamal al-Dîn bin Hisyâm al-Ansârî, Mugnî al-Labîb,: 49).     Dari sini menjadi jelas bahwa, laki-laki dalam  surat al-Baqarah ayat 228  berarti tidak semua laki-laki, tetapi laki-laki tertentu yang mempunyai kapasitas tertentu.
Sedangkan menurut Al-Râgib al-Asfihâniy, الرجل  menunjukkan arti khusus laki-laki. Namun dapat juga  perempuan disebut رجلة apabila dalam sebagian  ahwalnya menyerupai laki-laki. (Al-Râgib al-Asfihâniy, Mu`jam Mufradât Alfâz al-Qur`ân: 194).
 Jadi, ayat 34 dari surat al-Nisa`  bersifat fungsional, artinya laki-laki bertanggungjawab pada keluarga karena memberi nafaqah, artinya laki-laki yang berfungsi memberi nafaqah. Bagaimana halnya dewasa ini yang kerja dan  memberi nafaqah adalah isteri atau perempuan, tentu lain lagi masalahnya, artinya perempuan yang ahwalnya menyerupai laki-laki, yang berfungsi menjadi laki-laki dan memberi nafaqah, berarti perempuan yang bertanggungjawab pada keluarga, karena kecenderungan di Indonesia dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, bahkan  menunjukkan fenomena  yang sangat mengejutkan. Berdasarkan hasil pemetaan ulang yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan bahwa, 60 % perempuan Indonesia harus menghidupi diri sendiri dan keluarganya. Melihat kenyataan ini, Sinta Nuriah Abdurahman Wahid berkeyakinan bahwa, de fakto sesungguhnya kaum perempuanlah yang menjadi kepala rumah tangga atau keluarga.(Harian Kompas, Selasa, 4 Juli 2000,  h. 10, kol.5-9)
Sedangkan masalah saksi, kesaksian dilaksanakan oleh dua orang laki-laki atau satu laki-laki dan dua orang perempuan, dalam hal kontrak keuangan, tersebut dalam al-Qur’an:
…وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ  وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ  تَرْضَوْنَ مِنْ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأُخْرَى…
“…Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang laki-laki di antara kalian. Jika tidak ada dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kalian ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya…. (Al-Baqarah/2:282)
Kalimat “syahadah” diambil dari مشهَد  yaitu obyek yang terlihat jelas dengan kasat mata, adapun مشهد atau obyek tidak membutuhkan kepandaian dan kecerdasan individu, tetapi lebih sangat memerlukan kesaksian mata telanjang dan lebih ditekankan kepada kejujuran.  Berkaitan dengan hal tersebut, derajat hamba Allah yang mendapat gelar akademis seperti M.A. atau Dr. dengan hamba-Nya yang tidak mampu membaca dan menulis adalah sama, sehingga dapat disimpulkan bahwa strata pendidikan seseorang tidak ada kaitannya dengan perihal persaksian. Akhirnya kejujuran sangat urgen dalam kesaksian dan bukan kecerdasan akal.(Al-Sya`râwî, Tafsîr al-Sya`râwî: 1215)
            Pendapat al-Sya`râwî tersebut karena,  ia melihat  perempuan tidak banyak yang ke luar menyaksikan sesuatu yang berhubungan dengan keuangan, tetapi perempuan saat ini lebih banyak yang bergelut dengan masalah kerja dan keuangan. Kalau hal ini diketahui oleh al-Sya`râwî sudah barang tentu ia akan berpendapat lain.
             Harus dicatat bahwa, ungkapan itu hanyalah bersifat anjuran, bukan perintah wajib, terbukti bagian akhir ayat ini menjelaskan “Janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguan, (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai  yang kalian jalankan di antara kalian, maka tidak ada dosa bagi kalian, (jika) kalian tidak menulisnya”.     
 Sesuatu yang perlu  diperhatikan yaitu, ayat itu menunjukkan satu saksi laki-laki digantikan dua saksi perempuan, hanya salah seorang di antara keduanya yang menjadi saksi, sedangkan satunya hanya berfungsi untuk mengingatkan, apabila ia ragu, karena pada masa turunnya ayat itu selalu ada kemungkinan saksi perempuan melakukan kesalahan dalam masalah keuangan, bukan karena rendahnya kecerdasan, tetapi disebabkan kurang pengalaman dalam masalah keuangan.
Pendapat Aminah Wadud bahwa, menurut susunan kata ayat ini, kedua perempuan itu tidak disebut keduanya menjadi saksi, karena satu perempuan ditunjuk untuk ‘mengingatkan’ satunya lagi, dia bertindak sebagai teman kerjasama (kolaborator), meskipuan perempuan itu dua, tetapi masing-masing berbeda fungsinya, dan spesifik untuk perjanjian finansial, tidak dimaksudkan untuk diberlakukan secara umum, atau tidak berlaku pada persoalan lain. (Amina Wadud Muhsin, Qur`an and Woman: 85)
Jadi ayat tersebut harus dipandang secara kontekstual, bukan normatif, karena ada 7 (tujuh) ayat lain dalam al-Qur`an,  yang menyebutkan tentang kesaksian, tetapi tidak satupun yang menyebutkan saksi satu orang laki-laki digantikan dua orang perempuan. Yaitu: Al-Mâidah/5:106, Al-Mâidah/5:107, Al-Nisâ`/4:15Al-Nûr/24:4, Al-Nûr/24:6, Al-Nûr/24:8, Al-Talâq/65: 2.
    Berdasar ketentuan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa, saksi perempuan diakui sama dengan saksi laki-laki, tidak ada perbedaan diantaranya, khusus masalah keuangan, kalau perempuan menyaksikannya, maka ia berhak menyaksikan sendiri, kalaupun ada perempuan lain fungsinya hanya sebagai pengingat atau penguat.
   Sejalan dengan ayat tersebut ada hadis yang seolah-olah menunjukkan laki-laki memiliki kelebihan dibanding  perempuan.
عن عبد الله بن عمر عن رسول الله صلىالله عليه وسلم قال...ومارايت من ناقصات عقل ودين اغلب لذى لب منكن قا لت يارسول  الله  ومانقصان  العقل  والدين  قال اما نقصان  العقل  فشهادة  امراتين تعدل شهادة رجل  فهذا  نقصان  العقل  وتمكث  الليالى ما تصلى  وتفطر فى  رمضان  فهذا نقصان  الدين. رواه مسلم
“…Aku tidak melihat yang kekurangan akal dan agama dari pemilik pemahaman lebih  daripada golongan kalian, perempuan itu bertanya lagi: “Wahai Rasulullah! Apakah maksud kekurangan akal dan agama itu?”, Rasulullah saw bersabda: “Maksud kekurangan akal ialah penyaksian dua orang perempuan sama dengan penyaksian  seorang laki-laki. Inilah yang dikatakan kekurangan akal. Begitu juga perempuan tidak mengerjakan sholat pada malam-malam yang dilaluinya, kemudian berbuka pada bulan Ramadan karena haid. Maka itulah yang dikatakan kekurangan agama”.(H.R.Muslim)
(Muslim, Sahih Muslim, 2:.65. .Lihat juga Bukhari   dalam kitab Sahihnya (1462) dari Abu Sa’id al-Khudri).
Maksud kekurangan akal, kalau dihubungkan dengan kualitas persaksian, sementara persaksian itu berhubungan dengan faktor budaya, maka dapat saja dipahami sebagai keterbatasan penggunaan fungsi akal bagi perempuan, karena pembatasan budaya di dalam masyarakat.
 Namun sangat disayangkan asumsi memposisikan perempuan pada titik marjinal, perempuan kurang akalnya ini tidak terbukti kebenarannya, karena kandungan hadis menjelaskan karakter perempuan berdasarkan struktur fisik dan psikis menurut kodratnya sangat intens dengan    perasaan.  Hal    ini    bukan    merupakan   kekurangan,   namun  sebaliknya menjadi pembeda dengan laki-laki, dan merupakan keistimewaan tersendiri bagi perempuan yang sangat sesuai dengan tugas keperempuanan, karena fitrah perempuan memang senantiasa menggunakan perasaan lebih banyak dan berpikir dengan proporsi yang lebih sedikit.
Kendati demikian, perasaan perempuan tidak bermakna ia tidak mampu bergerak dan berpikir cepat layaknya laki-laki. Salah satu buktinya adalah  perjanjian Hudaibiyah menjadi saksi  atas kecerdasan dan ketangkasan perempuan, orang-orang muslim di saat itu menunaikan ihram dan berduyun-duyun menuju Baitullah al-Haram untuk melaksanakan umrah, tidak lupa mereka membawa hewan korban untuk disembelih selepas umrah dan tawaf di sekitar Ka`bah, namun orang-orang menghadang dan menahan langkah mereka, akhirnya pertempuran dingin ini diselesaikan dengan sebuah perjanjian yang terkenal dengan perjanjian Hudaibiyah.
Perjanjian ini ditandatangani oleh Rasulullah dan kaum kafir Mekkah. Berisi orang kafir Mekkah tidak akan mengganggu dan menghalangi langkah orang muslim dan penyebaran dakwah Islam, orang-orang muslim juga tidak akan menghalangi dan menyakiti kaum kafir Quraisy dan kerabatnya serta kaum yang berada di perlindungannya.
      Adapun perempuan yang menduduki posisi strategis dan berperan besar dalam   perjanjian Hudaibiyah di antaranya, Ummu Salamah. Ketika perjanjian Hudaibiyah ditandatangani dan disahkan, Nabi mengintruksikan untuk menyembelih hewan dan bertahallul, namun isi perjanjian sempat membuat mereka marah, karena menghalangi langkah penyempurnaan tawaf. Mereka tidak memahami hikmah yang tersirat dari perjanjian ini, yaitu sinyal-sinyal kemenangan Islam dan ekspansi wilayah Islam sampai tanah Mekkah.
Andaikata mereka lebih memilih untuk menyelesaikan permasalahan ini dengan peperangan, maka peperangan ini dapat dikatakan tragis, dalam arti pertempuran akan terjadi antara kaum muslim dan kaum muslim lainnya yang berdomisili di Mekkah, karena tidak sedikit dari warga Mekkah yang menganut agama Islam secara sembunyi-sembunyi.
                Pada perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah memerintahkan umatnya untuk menyembelih hewan dan bertahallul, namun seorang dari umatnya tidak melaksanakan instruksi Rasul, akhirnya Rasul menemui Umu Salamah binti Abi Umaiyyah dengan kemarahan memuncak.  
 Umu Salamah berkata:“Apa yang terjadi padamu wahai Rasulullah?” Nabi diam seribu bahasa. Umu Salamah tidak berhenti pada titik ini, dia justeru menanyakan perihal apakah yang membuatnya tidak mau bercerita kepadanya, kemudian Nabi berkata:“Orang-orang muslim telah punah, mereka tidak mengindahkan perintahku, aku memerintahkannya untuk menyembelih hewan dan memotong rambutnya, namun tidak melaksanakannya”. Umu Salamah berkata: “Wahai Rasulullah! Janganlah engkau mencelanya, karena mereka sedang mengalami kejadian yang dilematis akibat isi perjanjian yang menahan perolehan kemenangan yang sebenaranya dapat dicapai, wahai Nabi utusan Allah, keluarlah dan jangan mengeluarkan sepatah katapun, sembelihlah hewanmu dan bertahalullah!”. Akhirnya Nabi menjalankan nasehat isterinya Umu Salamah, kemudian orang-orang menyembelih hewan korbannya dan bertahallul seperti Nabi. (Diriwayatkan Ahmad dalam musnadnya, jilid 4: 336)
Demikianlah Nabi mengaplikasikan nasehat isterinya Umu Salamah guna menyelesaikan permasalahan yang rumit. Jika pendapat perempuan diklaim sangat tidak proporsional dan akal perempuan tidak sebanding dengan akal laki-laki, secara implisit Nabi dalam hal ini tidak melaksanakan nasehat Umu Salamah.
Keputusan yang diambil oleh laki-laki dan perempuan sangat jauh berbeda. Hal ini terlihat jelas pada sikap kesehariannya, dapat dibandingkan solusi yang dipakai oleh kedua pihak dalam tataran praktis. laki-laki dalam kesehariannya selalu membudayakan penggunaan akal, karena tugas yang diemban olehnya bekerja mencari penghasilan yang menuntut keterampilan akal tanpa campur tangan perasaan. jika seorang ayah tidak mempunyai uang sepeserpun, sedangkan anaknya meminta uang kepadanya, jelas dia tidak akan memenuhi permintaannya, keputusan tegas diambil berdasarkan akal. Realita akan berkata lain jika anak meminta uang kepada ibunya, dapat dipastikan  ibu mencari pinjaman guna memenuhi kebutuhan anaknya walaupun dengan perasaan malu dan penuh deraian air mata.
Jadi nuqsân al-aql yang disebutkan dalam hadis adalah frekuensi penggunaan akal pada perempuan sangat rendah, dalam arti perempuan dalam skala mayoritas sering menggunakan perasaan dalam setiap tindak-tanduknya.
Kalaupun hadis di atas difahami secara tektual, tetapi ada hadis qudsi yang seolah-olah berlawanan dengan hadis di atas, yaitu:
عن ابى موسى رضي الله عنه قال اتىالنبي صلىالله عليه وسلم اعرابيا قاكرمه فقال له: ائتنا فاتاه فقال له رسول الله صلىالله عليه وسلم سل حاجتك قال ناقة تركبها واعنز يحلبهااهلىفقال اعجزتم ان تكونوا مثل عجوز بنى اسرائيل؟ قلوا يارسول الله وما عجوز بنى اسرائيل؟ قال ان موسى عليه السلام لما سارببنى اسرائبل من مصرضالوا الطريق فقال ما هذا؟فقال علماؤهم يوسف عليه السلام لماحضره الموت اخذ بنيامين علينا موثقا من الله ان لاتخرج من مصرحتى تنقل عظامه معنا قال: من يعرف موضع قبره؟ قال: عجوز من بنى اسرائيل فبعث اليها فأتت فقال دليني على قبر يوسف فقالت حتى تعطيني حكمي قال وماحكمك؟ قالت اكون معك فى الجنة فكره ان يعطيها ذلك فاوحىالله اليه ان اعطها حكمها فانطلقت بهم الىبحيرة مستنقع ماء فقالت انضبوا هذا الماء فأنضبوه انضبوا  هذا الماء  فأنضبوه  فقالت احتفروا فاحتفروا  فاستخرجوا عظام يوسف فلما أقلوه  الى الارض فاذا  الطريق  مثل ضوء النهار.
“Dari Abu Musa, ia berkata, Nabi SAW mendatangi orang Arab gunung. Beliau memuliakannya. Lalu beliau berkata:”Datanglah kepadaku” Maka ia mendatangi beliau. Kemudian Rasul berkata kepadanya:”Mintalah kebutuhanmu”. Ia mengatakan:”Onta yang engkau naiki, aku bermaksud agar keluargaku memerahnya”. Maka Rasul menjawab:”Apakah kalian sudah lemah (tidak mampu) hingga kalian seperti perempuan bani Israil. ”Para sahabat bertanya:”Wahai Rasul, siapa perempuan bani Israil itu? Rasul menjawab:”Sesungguhnya Musa AS ketika membawa pergi bani Israil dari Mesir, mereka tersesat jalan.
Maka Musa berkata:”Siapa ini?” Ulama mereka menjawab:”Yusuf AS”. Ketika ajal Yusuf tiba. Benyamin menanggung perjanjian dengan Allah supaya kami tidak keluar dari Mesir, sehingga kami membawa memindahkan (membawa) tulang-tulang Yusuf bersama kami. Musa berkata:”Siapa yang mengetahui kuburan Yusuf?” Benyamin menjawab:”Perempuan tua dari Bani Isrâîl”. Maka Musa memerintahkan (utusan) pergi kepadanya (perempuan itu). Maka berkatalah Musa:”Tunjukkanlah aku kuburan Yusuf!” Perempuan itu berkata:”Supaya aku bersama kamu di surga”. Maka Musa menolak untuk memberi yang demikian kepada perempuan. Lalu Allah mewahyukan kepada Musa supaya Musa memberi (memenuhi) permintaan perempuan itu. Maka perempuan itu pergi bersama mereka ke danau, tempat menggenangnya air. Perempuan itu berkata:”Kuraslah air ini!” Kemudian mereka menguras. Perempuan itu berkata lagi:”Hendaklah kalian menggali lubang” Lalu mereka menggali lubang. Perempuan itu berkata:”Hendaklah kalian mengeluarkan tulang-tulang Yusuf”. Ketika mereka mengangkatnya ke atas bumi(tanah). Tiba-tiba ada jalan seperti cahaya siang” ( Al-Imâm Abî al-Hasan Nuruddîn `Ali bin Sultan Muhammad al-Qoriy, Al-Ahâdîs al-Qudsiyyah al-Sahihah, terj. M.Thalib: 149-151.).

Hadis ini sebagai salah satu bukti bahwa perempuan mampu mengingat sesuatu dalam waktu yang lama, dan ingatan itupun berhubungan dengan kecerdasan akal. Dengan demikian, perempuan mampu menjadi saksi yang baik. mampu bertindak dan diajak bicara memecahkan masalah, tidaklah benar kalau perempuan itu kurang akal dan agama.

                                                   IV          
Perempuan berhak menduduki jabatan politik, dengan syarat mentaati hukum syariat Islam, karena tidak ada teks yang secara tegas (sarih) melarangnya. Sedangkan  ayat yang dipakai dasar surat Al-Tawbah/9:71:
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنْ الْمُنكَر وَيُقِيمُونَ  الصَّلاةَ  وَيُؤْتُونَ  الزَّكَاةَ  وَيُطِيعُونَ  اللَّهَ  وَرَسُولَهُ  أُوْلَئِكَ سَيَرْحَمُهُمْ  اللَّهُ إِنَّ  اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
 “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, mereka menyuruh menjalankan kebajikan dan melarang dari kejahatan, mendirikan salat menunaikan zakat, mereka taat patuh kepada Allah dan Rasulnya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah, karena sesungguhnya Allah itu Maha Kuasa lagi Maha bijaksana”.

          Dalam tafsir Al-Sya`râwî, kata auliya diartikan bahwa: “Dalam  masyarakat mukmin harus saling tolong menolong dan saling memberi nasihat, agar sempurna imannya.” (Al-Sya`râwî, Tafsir al-Sya`râwî,: 5287). Jadi mencakup kerjasama, bantuan, dan penguasaan.
 Sedangkan "Menyuruh mengerjakan yang makrûf dan mencegah yang munkar" maksudnya, Ketika mukmin mengerjakan perkara munkar, maka mukmin yang lain mencegahnya, dan ketika mukmin tidak mengerjakan kebaikan, maka mukmin yang lain mengingatkannya. Akhirnya, setiap mukmin memerintah dan diperintah untuk mengerjakan kebaikan dan melarang mengerjakan kemunkaran. Jadi artinya sesama mukmin baik laki-laki maupun perempuan harus saling mengingatkan, ada kemungkinan posisinya menjadi pemerintah atau yang diperintah.
Demikian juga pendapat Sayid Qutub dalam tafsirnya maksud dari amar makruf  dan nahi munkar artinya “Menciptakan kebaikan dan menolak kejelekan diperlukan pemerintahan atau kekuasaan dan dengan tolong menolong, hal ini dilakukan oleh laki-laki dan perempuan”.(Sayid Qutub, Fi Zilal al-Qur`ân: 1675).
Dengan ayat itu menunjukkan bahwa, Laki-laki dan perempuan mempunyai hak politik, hak kepemimpinan publik, terbukti keduanya berhak menyuruh mengerjakan yang makrûf dan mencegah yang munkar, mencakup segala segi kebaikan, termasuk memberi masukan dan kritik terhadap penguasa.
Hak perempuan di bidang politik, merupakan hak syar`î, jika dalam beberapa masa lalu perempuan tidak menggunakan hak ini, bukan berarti perempuan tidak boleh dan tidak mampu, tetapi karena tidak ada kebutuhan yang mendesak untuk memperaktekkannya, atau laki-laki dalam hal ini mengunggulinya, ini bukan berarti hak politik perempuan tidak diakui, justru menjadi suatu hak yang dituntut dan dianggap sangat urgen, terutama di saat sekarang ini. Apalagi, dalam  konteks pemberdayaan peran politik perempuan di Indonesia, hak tersebut secara legal-formal telah terjamin eksistensinya. Hal itu terlihat jelas pada pasal 65 ayat 1, UU no. 12 tahun 2003 tentang Pemilu, yang menyatakan bahwa:
“Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPRRI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten / Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 %”
 
 Sementara di sisi lain ada hadis yang dijadikan pegangan untuk tidak patut perempuan menjadi pemimpin atau memegang jabatan adalah:
عن ابى بكرة  قال لقد نفعني الله  بكلمة سمعتها من رسول الله  صلى الله عليه وسلم آيام الجمل  بعد ماكدت آن آلحق باصحاب الجمل فآقاتل معهم قال لما بلغ رسول الله   صلى الله عليه وسلم  ثم آن  اهل فارس قد ملكوا  عليهم بنت كسرى  قال  لن يفلح  قوم  ولو امرهم  امرأة رواه البخارى         
“Dari Abî Bakrah berkata: “Allah memberikan manfaat kepadaku pada hari-hari perang Jamal, dengan satu kalimat yang saya dengar dari Rasul SAW setelah aku hampir saja bergabung dengan pasukan unta untuk bertempur bersama mereka”. Abu Bakrah berkata: “Ketika sampai pada Rasul SAW satu berita, bahwa penduduk Persia telah menobatkan puteri Kisra sebagai raja, maka Rasul SAW  berkata: “Tidak akan sejahtera suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahannya) kepada perempuan”. (H.R.Bukhari).)Muhammad bin Ismâ`îl Abû `Abdillah al-Bukhârî, Sahih Bukhâri,juz 4:1610)

Hadis tersebut dalam tingkatan ahad tidak mutawatir. Seandainya hadis itu dianggap mutawatir, tetapi sabab al-wurûdnya berkenaan dengan sebab khusus yaitu merespon kejadian tertentu yang bersifat terbatas. Rasulullah SAW mengatakannya berkaitan dengan naiknya Puteri Kisra raja Persia sebagai pemegang pemerintahan.
 Hal itu tidak termasuk perundang-undangan yang bersifat umum, sebab berasal dari Rasulullah dalam kapasitasnya sebagai kepala pemerintahan dan pemimpin negara, tidak sebagai rasul.
  Kalaupun hadis tersebut dianggap sebagai perundangan untuk umum, maka maknanya secara bahasa yang tepat adalah dikuasainya seluruh urusan negara, serta pemerintahan secara menyeluruh oleh perempuan. Ini suatu hal yang tidak mungkin, baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Hadis tersebut memakai kata امرأة adalah bentuk nakirah jadi perempuan yang bersifat umum, sehingga perlu ada  taqyid atau batasan, artinya perempuan yang mempunyai kemampuan memimpin tidak menjadi masalah kalau dia menjadi  pimpinan atau memegang jabatan.
 Kalau di lihat dari perawinya yaitu Abû Bakrah, ia menggali hadis tersebut setelah kalahnya `Aisyah di perang Jamal, yang telah terpendam 25 tahun dari ingatannya dalam situasi dan konteks yang berbeda.(Fatima Mernisi, Wanita di dalam Islam, terj. Yaziar Radianti:62).
 Hadis itu tidak ada sebelum perang jamal, dimana `Aisyah isteri Nabi menjadi pimpinan pasukan yang di dalamnya banyak sahabat mengikutinya, tidak seorangpun sahabat keberatan atas kepemimpinannya. Bahkan Abû Bakrahpun ada, dan tidak membelot darinya. Seandainya dia yakin bahwa Nabi melarang perempuan menjadi pemimpin, tentulah ia segera keluar dari barisan `Aisyah, setelah ia teringat hadis di atas. Hal ini menunjukkan bahwa, kepemimpinan perempuan dalam hal ini adalah `Aisyah diterima oleh para sahabat terkemuka.
           Bukti bahwa perempuan mempunyai kekuatan dan kemampuan untuk memikul masalah besar adalah terdapat dalam al-Qur`an tentang Hajar, ibu Nabi Ismâ`îl AS, tentang ibu Nabi Musa AS., dan tentang Maryam, ibu Nabi Isa AS. Dari bukti tersebut menunjukkan bahwa perempuan dapat mengatasi masalah, kendatipun dalam scop yang luas, seperti persoalan dalam suatu negara
                                                                    
                                                                      V
Demikianlah pembahasan secara kritis tentang hak perempuan dalam politik menurut Islam. Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak ditemukan ayat atau hadis yang melarang kaum perempuan untuk aktif dalam dunia politik, demikian juga menjadi pemimpin. Sebaliknya Al-Qur’an dan hadis banyak mengisyaratkan tentang kebolehan perempuan aktif menekuni dunia tersebut. Jadi Islam memberikan peran terhadap perempuan untuk berpolitik.











No comments:

Post a Comment