Hadist merupakan salah satu perkataan
atau perbuatan dari nabi Muhammad SAW. Untuk mendapatkan tingkat kebenaran
hadist, tentunya harus dilihat dahulu bagaimana kebenaran hadist tersebut saat
diriwayatkan, karena bisa jadi orang yang meriwayatkan hadist tersebut
mempunyai beberapa kekurangan dalam dirinya, atau bisa dikatakan cacat dalam
berbagai aspeknya, baik itu kelakuan orang tersebut, maupun perbuatannya
sehari-hari yang tidak baik dapat menghambat hadist-hadist yang ia riwayatkan
menjadi tidak shahih.
Menurut kesepakatan para Jumhurul
ulama, tingkat kesahihan sebuah hadist dapat dikatagorikan sebagai
berikut:
Sanad bersambung, periwayat bersifat
adil, periwayat bersifat Dhabit, dalam hadist tersebut tidak terdapat
kejanggalan (Syuzuz) dan tidak terdapat cacat (‘illat)[1].
Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh para ulama, sebuah hadist dianggap sahih oleh Imam Bukhari bila dalam
persambungan sanad benar-benar ditandai dengan pertemuan langsung antara guru dan murid atau minimal ditandai
dengan hidupnya antara guru dan murid dalam satu masa[2].
Dari hasil penelitian hadist yang dilakukan oleh 2 orang ulama yang hidup pada
abad 6 hijriah, yang bernama Hazami dan Maqsidi, tentang kriteria keshahihan
hadist menurut Imam Bukhari telah disimpulkan bahwasanya ia hanya menuliskan
hadist dari periwayatan kelompok tingkat pertama daan sedikit dari tingkat
kedua, yaitu yang memiliki sifat adil, kuat hafalan, teliti, jujur, serta lama
dalam berguru. Kesimpulan tersebut diperoleh dari penelitian terhadap murid-murid
al-zuhri, bahwa murid al-zuhri dapat dibagi menjadi 5 tingkatan.
Tingkatan pertama ialah: mereka yang memiliki
sifat adil, kuat hafalan, teliti, jujur, dan lam aberguru pada al-Zuhri
Tingkatan kedua ialah: mereka yang
mempunyai sifat yang sam adengan yang pertama tetapi tidak lama berguru pada
al-Zuhri.
Tingkatan ketiga ialah: mereka yang
berada di bawah tingkatan kedua.
Tingkatan keempat dan ke Lima ialah:
mereka yang majruh dan lemah[3].
Dari uraian diatas sekiranya dapat
difahami bahwasanya kriteria hadist shahih menurut Imam Bukhari adalah:
Dalam hal persambungan sanad, ia
menekankan adanya infrmasi positif tentang periwayat bahwa mereka benar-benar
bertemu atau minimal satu zaman dan hal sifat atau tingkatan dan periwayat, ia
menekankan adanya kriteria yang paling tinggi.
[1]
Mahmud Al-Tahhan, Usul al-Tahrij wa Dirasat al-Asanid (ttp: al Maktabah
al Arabiyah,1978), hal. 148. Dapat ditemukan juga dalam ‘ali ‘abdullah al-Madini,
al-Ilal al Hadist wa Ma’rifah ar-Rijal (ttp: Dar al-Hallab), hal. 9.
[2]
Menurut berbagai pendapat para ulama, hal ini dijelaskan karena dalam kitab Imam
Bukhari sendiri tidak menyebutkan secara konkrit tentang bagaimana cirri-ciri
kriteria hadist yang sahih.
[3]
Ibnu Hajar al-Asqalani, Hady al-syari’, Jilid I (Kairo: 1973), hal. 6.
No comments:
Post a Comment